PARBOABOA, Jakarta – Fenomena mengendapnya dana pemerintah daerah (Pemda) di bank kembali menjadi sorotan.
Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, Astera Primanto Bhakti, menjelaskan akar persoalan ini berawal dari siklus perencanaan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang cenderung terlambat.
Setiap tahun, perencanaan APBD baru dilakukan sekitar September hingga Oktober, sementara kontrak proyek baru diteken pada April tahun berikutnya. Alhasil, realisasi belanja daerah justru menumpuk di akhir tahun.
“Biasanya APBD disusun September–Oktober tahun sebelumnya. Lalu kontrak proyek baru dimulai sekitar April. Setelah itu, realisasi anggaran paling cepat baru terlihat di tiga bulan terakhir,” ujar Prima, sapaan akrab Astera, dalam media briefing di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat (3/10/2025).
Akibat siklus tersebut, dana yang sudah ditransfer pemerintah pusat kerap menumpuk di rekening bank milik daerah.
Bahkan, sebelum anggaran tahun berjalan habis digunakan, sudah masuk lagi alokasi baru dari pusat.
“Itu yang membuat saldo di Bank Pembangunan Daerah (BPD) membengkak, hingga tembus Rp223 triliun,” jelas Prima.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan jumlah dana mengendap Pemda terus meningkat dari tahun ke tahun.
Per Agustus 2025, nilainya mencapai Rp233,11 triliun, naik dibanding Agustus 2024 yang sebesar Rp192,57 triliun.
Angka itu juga lebih tinggi dibanding 2023 yang sebesar Rp201,3 triliun, 2022 senilai Rp203,42 triliun, dan 2021 yang mencapai Rp178,95 triliun.
Meski demikian, Prima menegaskan bahwa pada akhir tahun jumlah dana mengendap biasanya menurun hingga kisaran Rp95–Rp100 triliun.
Hal itu terjadi karena daerah mulai mempercepat belanja melalui proyek-proyek yang sudah ditandatangani.
Namun, ia tidak menutup mata bahwa ada daerah yang tetap gagal menyerap anggaran secara optimal.
“Jadi uangnya hanya diam di bank. Inilah yang menjadi tantangan: bagaimana daerah bisa mempercepat serapan,” tegasnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menilai persoalan lambannya serapan anggaran tidak bisa dibiarkan. Ia meminta Pemda memperbaiki tata kelola agar dana transfer dari pusat bisa digunakan lebih efektif.
“Daerah itu biasanya ingin jalan sendiri. Tapi mereka harus belajar memperbaiki cara menyerap anggaran.
Jangan sampai nanti ramai-ramai ada penangkapan karena penyelewengan,” ujar Purbaya di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (2/10/2025).
Menurut Purbaya, lemahnya serapan anggaran tidak hanya menahan pertumbuhan ekonomi daerah, tetapi juga memicu langkah pemerintah pusat mengurangi Transfer ke Daerah (TKD) pada 2026.
Pemangkasan ini didorong maraknya kasus penyalahgunaan dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan.
“Alasan utamanya karena banyak penyelewengan. Tidak semua uang dipakai sebagaimana mestinya. Itu yang membuat pusat gerah,” ungkapnya.
Meski TKD dipotong, pemerintah pusat bersama DPR RI tetap menyetujui penambahan alokasi anggaran daerah sebesar Rp43 triliun pada APBN 2026.
Dengan tambahan tersebut, total TKD tahun depan mencapai Rp693 triliun. Namun, angka itu masih jauh lebih rendah dibandingkan APBN 2025 yang mencapai Rp919,9 triliun.
Purbaya menambahkan, jika dilihat secara keseluruhan, alokasi dana untuk daerah pada 2026 sebenarnya lebih besar karena program-program pemerintah pusat yang dijalankan di daerah naik dari Rp900 triliun menjadi Rp1.300 triliun.
“Jadi meski transfer turun, program pusat di daerah justru meningkat. Yang kami harapkan, uang ini bisa dikelola lebih efektif,” jelasnya.
Ia menegaskan, bila Pemda mampu membuktikan serapan anggaran yang baik dan bersih, dirinya siap melobi Presiden Prabowo Subianto untuk menambah alokasi TKD secara signifikan.
“Kalau mereka bisa menunjukkan penyerapan yang baik, saya bisa merayu pemimpin saya untuk menambah dengan cepat,” ucap Purbaya.
Dengan kondisi ini, bola kini berada di tangan pemerintah daerah. Apabila tata kelola keuangan dapat diperbaiki, dana yang digelontorkan pemerintah pusat tidak hanya terserap optimal, tetapi juga mampu mengakselerasi pembangunan daerah dan menopang pertumbuhan ekonomi nasional.