PARBOABOA, Jakarta - Insiden robohnya bangunan asrama putra yang difungsikan sebagai musala di Pondok Pesantren Al Khoziny, Kecamatan Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (29/9/2025), menyisakan duka mendalam.
Peristiwa itu terjadi ketika para santri tengah melaksanakan salat Asar berjamaah di lantai dua, yang seketika ambruk dan menimbun mereka di bawah reruntuhan.
Gedung sempat bergoyang sebelum bagian ujung musala runtuh dan menyeret struktur lain hingga roboh total. Laporan awal menyebut satu korban meninggal, namun jumlah itu terus bertambah.
Hingga Jumat (3/10/2025), total korban meninggal dunia tercatat 13 orang, sementara 103 lainnya selamat dari total 116 korban.
Direktur Operasi SAR Basarnas, Yudhi Bramantyo, menjelaskan bahwa evakuasi lima jenazah berlangsung sulit karena tim harus menghancurkan beton dan memotong besi tulangan yang menjepit korban.
Dari total lima jenazah tersebut, ujar Yudhi, empat jenazah dievakuasi secara bertahap dari reruntuhan material bangunan di sektor A2, dan satu korban lain dari sektor A3.
Operasi pencarian melibatkan ratusan personel dari berbagai instansi, mulai dari Kantor SAR Surabaya, TNI, Polri, BPBD Jawa Timur, PMI, Damkar, hingga sejumlah organisasi relawan dan potensi SAR dari berbagai daerah.
Jenazah korban kemudian dibawa ke RS Bhayangkara Surabaya untuk identifikasi tim DVI Polda Jatim.
Dugaan Penyebab
Pengasuh Ponpes, Abdul Salam Mujib kepada media, menyebut bahwa bangunan tiga lantai itu masih dalam tahap renovasi. Pada hari kejadian, lantai tiga baru saja selesai dicor sekitar pukul 12.00 WIB.
Ia menduga struktur bangunan tidak kuat menopang beban berat setelah pengecoran sehingga runtuh.
Analisis awal tim SAR dan ahli konstruksi ITS menyatakan penyebab runtuhnya gedung adalah kegagalan konstruksi dengan pola “pancake collapse”, yakni runtuh secara vertikal sehingga lantai menimpa lantai di bawahnya.
Andri Setiawan, peneliti struktur dari Technical University of Valencia, menambahkan bahwa kemungkinan penyebab mencakup kegagalan pondasi akibat beban berlebih, kegagalan sistem penopang saat pengecoran, hingga kesalahan perhitungan dimensi elemen struktur.
“Jika sistem penopang gagal, beton basah yang belum mampu menahan beratnya sendiri akan runtuh, memicu efek domino ke lantai lain,” terang Andri dalam sebuah pernyataan, Rabu (1/10/2025).
Kesalahan dalam perhitungan struktur diyakini turut menjadi faktor yang patut dicermati.
Elemen bangunan seperti balok, kolom, maupun pelat yang dirancang dengan dimensi penampang terlalu kecil bisa saja tidak mampu menahan beban sesuai rencana. Kondisi ini berpotensi besar menimbulkan persoalan serius.
“Selain itu, dapat juga terjadi kesalahan dalam pelaksanaan di lapangan yang menyebabkan penurunan mutu beton dari spesifikasi awal. Hal ini dapat menimbulkan kegagalan material secara prematur,” jelas Andri.
Ia menegaskan bahwa fasilitas pendidikan seharusnya dirancang mengikuti standar resmi, yakni SNI 2847:2019 tentang persyaratan beton struktural untuk bangunan gedung; SNI 1727:2020 mengenai beban desain minimum serta kriteria terkait bangunan dan struktur; dan SNI 1726:2019 yang mengatur tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk gedung maupun non-gedung.
“Fasilitas seperti pesantren seharusnya dirancang dengan faktor kepentingan yang lebih tinggi daripada bangunan kantor atau rumah tinggal pada umumnya,” ungkap Andri.
Berdasarkan dokumen SNI 1726:2019 tentang perhitungan beban gempa, pesantren masuk dalam Kategori Risiko IV atau infrastruktur penting. Artinya, bangunan tersebut harus mampu segera berfungsi kembali pascabencana sebagai pusat penyaluran bantuan.
Namun, fakta bahwa gedung yang seharusnya menjadi pelindung justru berubah menjadi sumber petaka, menjadi ironi sekaligus peringatan keras akan pentingnya penerapan standar secara konsisten.