Siantar Zoo: Kumala Sari, Dokter Hewan Penjaga dalam Senyap

Induk tapir saat istirahat di siang hari (Foto: PARBOABOA/Novriani)

Tulisan-3

PARBOABOA, Pematangsiantar – Pagi masih lembab ketika dokter hewan (drh.) S. Kumala Sari melangkah ke zona kandang besar seekor harimau Sumatra. Di tangannya ada papan catatan kecil tetapi tatapannya lebih sering tertuju pada ekor dan gerak tubuh si loreng.

“Kalau ekornya diam saja, saya curiga. Harusnya bergerak. Di sinilah insting dokter hewan diuji,” ujarnya, sambil tersenyum tipis.

Usianya baru 25 tahun, namun ia sudah memegang amanah besar sebagai head of animal health and welfare di Taman Hewan Pematangsiantar. Sebuah peran yang tak hanya menuntut pengetahuan medis, tapi juga empati, ketekunan, dan stamina fisik yang tak sedikit.

Lulusan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh ini awalnya tak pernah membayangkan akan bekerja di taman hewan. Karier perdananya justru dimulai di peternakan ayam, tempat ia belajar manajemen kesehatan ternak dan penanganan penyakit. Namun, gairah untuk mengakrabi satwa liar dan eksotik tak pernah padam. Ketika lowongan terbuka di Siantar Zoo, ia memberanikan diri mencoba.

“Saya tahu akan beda sekali dengan peternakan. Tapi justru itu tantangannya. Ini tentang jiwa,” katanya mantap.

Kini, setahun sudah ia berdiri di garis depan menjaga kesehatan ratusan satwa: dari harimau, singa, orangutan, gajah, hingga burung merak dan reptil. Setiap pagi ia berjalan menyusuri taman bersama para keeper, mengamati tingkah laku hewan, mengecek sisa pakan, dan mencatat setiap gejala sekecil apa pun yang tampak mencurigakan.

“Menjadi dokter hewan di kebun binatang berarti mendengarkan mereka yang tak bisa bicara. Seekor beruang yang mendadak menyendiri, burung yang tiba-tiba tak lagi berkicau, atau buaya yang mogok makan tiga hari berturut-turut—semua itu jadi alarm bagi saya.”

Bersama timnya, ia memastikan kesehatan satwa bukan hanya dari sisi fisik, tetapi juga mental. Salah satunya lewat enrichment (stimulus perilaku alami) seperti dengan memberikan daging hidup sesekali pada buaya atau harimau agar insting berburu mereka tetap terjaga.

Tak banyak yang tahu pekerjaan seorang dokter hewan di kebun binatang bukan sekadar memberi makan atau menyuntik vitamin. Di balik kandang-kandang kokoh itu ada prosedur medis yang rumit dan penuh kehati-hatian.

Di Siantar Zoo setiap kasus ditangani berbeda, tergantung spesies dan tingkat penyakit. Seekor burung dengan infeksi pernafasan tentu berbeda penanganannya dengan harimau yang terganggu pencernaan.

Tim medis bekerja seperti awak rumah sakit lapangan. Ada prosedur standar (SOP) untuk luka ringan sampai penyakit infeksi. Kalau sudah terkait virus, mereka wajib mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap yakni masker, sarung tangan, dan pelindung wajah. Sebenarnya, hampir seserius penanganan pasien manusia di rumah sakit.

Tantangan

Bagi Kumala Sari, setiap hewan di Siantar Zoo punya kisah dan tantangannya sendiri. Namun dari sekian banyak pengalaman, ada satu momen yang tak pernah benar-benar bisa ia lupakan: saat merawat seekor harimau tua yang menua dalam kesunyian.

dokter hewan kumala

Dokter hewan S. Kumala Sari, dokter yang memantau kesehatan satwa di Siantar Zoo (Foto:PARBOABOA/Novriani)

Harimau itu bukan lagi raja hutan yang garang. Renta, giginya rapuh, pencernaannya melemah, dan langkahnya tak lagi setegas dulu. Namun sorot matanya tetap menyala—seolah ingin hidup lebih lama, seakan masih ingin mendengar langkah para pengunjung dari balik kaca kandangnya.

“Saat itu ia sudah tidak bisa lagi mengunyah daging utuh. Kami harus menggiling makanannya, menjadikannya bubur daging lunak. Bahkan, ketika nafsu makannya turun drastis, keeper kami menyuapi langsung dengan tangan,” kenang drh. Kumala.

Prosedur sederhana itu ternyata jauh lebih dari teknis medis. Ia menguji kesabaran, empati, dan kedekatan emosional antara manusia dan satwa. Di titik itu, batas antara profesi dan kemanusiaan memudar. Yang tersisa hanyalah hubungan saling percaya.

Melihat harimau setua itu tetap berusaha makan, tetap berusaha bangkit, itu bukan sekadar momen medis. Itu momen kemanusiaan, bagi sang dokter.

Pengalaman semacam ini menyadarkannya bahwa menjadi dokter hewan di kebun binatang bukan hanya soal menyembuhkan, tetapi juga menemani perjalanan hidup satwa—bahkan sampai ke ujungnya.

 

tempat dokter menangani

Tempat dokter menangani satwa yang sakit (Foto:PARBOABOA/Novriani)

Namun tak semua kisahnya berakhir dengan perpisahan. Kadang, alam justru menghadirkan kejutan penuh harapan.

Salah satu momen paling mendebarkan datang di tengah malam sunyi, saat seekor tapir betina bernama Keke hamil besar. Ada gejala mencurigakan—fesesnya (kotoran) keluar di kolam—yang bisa berisiko fatal bila ia panik lalu tercebur. Risikonya besar sekali. Bukan hanya untuk Keke, tapi juga untuk janinnya.

Malam itu bersama keeper dan staf, Kumala Sari berjaga semalaman di dekat kandang. Lampu tambahan dipasang, pengawasan ketat dilakukan, dan hati semua orang tegang menunggu tanda-tanda yang lebih jelas.

“Saat itu jantung saya benar-benar deg-degan. Kami belum tahu apakah itu tanda melahirkan. Tapi yang terpenting adalah memastikan dia merasa aman.”

Pagi akhirnya tiba. Keke tidak tercebur, kondisinya stabil, dan beberapa hari kemudian ia benar-benar melahirkan dengan selamat. Seekor anak tapir betina lahir di Siantar Zoo pada 2024—sebuah kabar yang langsung menjadi kebanggaan.

Kelahiran ini bukan hanya membawa sukacita tetapi juga harapan besar bagi konservasi. Tapir Asia (Tapirus indicus) termasuk spesies langka yang kian terdesak oleh hilangnya habitat dan perburuan ilegal. Di tengah ancaman itu hadirnya seekor anak tapir sehat di lembaga konservasi adalah kemenangan kecil yang patut dirayakan.

“Selama masa observasi, kami beri vitamin tambahan untuk Keke agar tetap prima. Itu penting supaya ia bisa menyusui dan merawat anaknya dengan baik,” jelas drh. Kumala.

Bagi tim di Siantar Zoo, kisah Keke bukan sekadar cerita kelahiran. Ia adalah bukti dedikasi, ketekunan, sekaligus filosofi konservasi: bahwa setiap kehidupan yang lahir adalah langkah menjaga keberagaman hayati Indonesia. (Bersambung)

Penulis: Novriani Tambunan [Liputan ini Tugas Akhir di Sekolah Jurnalisme Parboaboa (SJP) Pematangsiantar, Batch 2. SJP merupakan buah kerja sama Parboaboa.com dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.]

Editor: P. Hasudungan Sirait

Editor: Hasudungan Sirait
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS