Peringatan HUT ke-80 TNI dan Bayang-bayang Reformasi yang Tertunda

Tentara Nasional Indonesia (TNI) merayakan HUT Ke-80 pada Minggu (5/10/2025) (Foto: elsam.or.id)

PARBOABOA, Jakarta - Perayaan HUT ke-80 TNI di Lapangan Monas, Jakarta Pusat, Minggu (5/10/2025), menjadi momentum besar bagi bangsa untuk meneguhkan kembali semangat pengabdian dan jati diri prajurit sebagai tentara rakyat. 

Upacara megah ini dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto selaku inspektur upacara, disaksikan ribuan personel TNI dan masyarakat yang memadati kawasan Monas sejak pagi.

Sejumlah tokoh nasional turut hadir, antara lain Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Jusuf Kalla, Boediono, dan Ma’ruf Amin, serta pimpinan lembaga tinggi negara seperti Ketua DPR Puan Maharani dan Ketua MPR Ahmad Muzani. 

Kehadiran para tokoh lintas generasi tersebut menandai kekompakan nasional dalam memperingati delapan dekade pengabdian TNI bagi Indonesia.

Presiden Prabowo tiba di lokasi sekitar pukul 08.05 WIB bersama rombongan. Ia disambut Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dan para kepala staf angkatan. 

Dalam amanatnya, Presiden menyampaikan penghargaan mendalam kepada seluruh prajurit atas dedikasi mereka dalam menjaga kedaulatan bangsa. Ia menegaskan, semangat TNI yang berasal dari rakyat harus terus dijaga.

Usai upacara resmi yang meliputi pemeriksaan pasukan, penghormatan kebesaran, dan mengheningkan cipta, acara dilanjutkan dengan demonstrasi kemampuan prajurit. Langit Monas dipenuhi atraksi udara dari tim aerobatik Jupiter dan puluhan paramotor. 

Di darat, prajurit dari Kopassus, Kopasgat, dan Marinir memperlihatkan keahlian bela diri militer, manuver kendaraan tempur, dan aksi drone kamikaze. Penampilan defile pasukan dari tiga matra serta parade alutsista darat dan udara menutup rangkaian militer dengan megah.

Perayaan tahun ini disebut sebagai yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir, dengan lebih dari 133 ribu personel dan 1.047 alat utama sistem senjata (alutsista) dikerahkan. 

Pada sore hari, masyarakat disuguhi hiburan rakyat dengan penampilan musisi nasional seperti NDX AKA, Dewi Perssik, dan Wali. Panitia juga menyiapkan pembagian makanan gratis, paket sembako, serta berbagai hadiah bagi masyarakat.

Di tengah semarak perayaan, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyampaikan pesan moral yang kuat kepada seluruh prajurit. 

Ia menegaskan bahwa TNI tidak boleh sekalipun menyakiti hati rakyat, sebab dari rakyatlah tentara dilahirkan dan kepada rakyat pula pengabdiannya kembali. 

Menurutnya, prajurit sejati adalah mereka yang hadir di tengah masyarakat, ikut membantu mengatasi kesulitan rakyat, dan tetap rendah hati dalam menjalankan tugasnya.

Sjafrie juga mengingatkan bahwa sejarah TNI tidak terlepas dari semangat juang generasi 1945 yang berlandaskan Pancasila dan konstitusi. Semangat itu, katanya, harus terus diwariskan kepada generasi penerus agar nilai-nilai perjuangan dan kehormatan prajurit tetap hidup.

Dalam konteks pembangunan pertahanan, Sjafrie menuturkan bahwa Kementerian Pertahanan dan TNI kini fokus memperkuat sistem pertahanan nasional melalui “Perisai Trisula Nusantara” sebagai konsep yang menekankan penguatan kemampuan di semua matra, darat, laut, dan udara. 

Selain itu, kemandirian industri pertahanan nasional juga terus didorong agar Indonesia dapat memenuhi kebutuhan alat pertahanan secara mandiri tanpa bergantung pada negara lain.

Momentum HUT ke-80 TNI bukan hanya sekadar pesta militer, tetapi juga refleksi atas perjalanan panjang TNI sebagai penjaga kedaulatan, pelindung rakyat, dan simbol kedisiplinan nasional. 

Pesan Presiden dan Menteri Pertahanan seolah menegaskan kembali makna jati diri TNI, yakni kuat karena rakyat, dan untuk rakyat.

Reformasi Peradilan Militer

Di tengah euforia HUT TNI Ke-80, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyerukan agar TNI kembali ke jati dirinya sebagai kekuatan pertahanan negara yang profesional dan tunduk pada supremasi sipil.

Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menyampaikan bahwa momentum ulang tahun ini semestinya tidak hanya dipandang sebagai ajang seremonial, tetapi juga kesempatan refleksi terhadap arah perjalanan TNI pascareformasi.

“Peringatan ini seharusnya juga menjadi pengingat untuk mengevaluasi kembali komitmen reformasi TNI agar benar-benar menjadi kekuatan pertahanan yang profesional dan patuh pada prinsip supremasi sipil,” ujarnya dalam diskusi di Kantor Imparsial, Sabtu (4/10/2025).

Ardi menegaskan, dua dekade lebih sejak Reformasi 1998, publik masih melihat berbagai praktik yang menunjukkan bahwa transformasi tersebut belum sepenuhnya terwujud. 

Menurutnya, peran ganda TNI atau apa yang disebut sebagai “multifungsi” menjadi salah satu hambatan terbesar bagi profesionalisme militer.

Ia menjelaskan bahwa keterlibatan TNI dalam urusan non-pertahanan tidak hanya menyalahi mandat konstitusi, tetapi juga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang. 

“Multifungsi TNI tidak hanya merusak tata kelola pemerintahan sipil, tetapi juga mengikis profesionalisme prajurit. Lebih jauh, kondisi ini membuka peluang bagi tindakan represif terhadap masyarakat,” katanya.

Nada serupa disampaikan oleh Direktur Eksekutif DeJure, Bhatara Ibnu Reza, yang menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap anggota TNI yang terlibat pelanggaran. 

Ia menilai, kasus kekerasan dan tindak pidana yang dilakukan oknum TNI masih sering diselesaikan melalui peradilan militer, bukan peradilan umum. 

Padahal, menurutnya, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025, secara tegas mengatur mekanisme tersebut.

Bhatara mengutip Pasal 65 ayat (2) UU TNI yang menyebutkan bahwa prajurit tunduk pada peradilan militer untuk pelanggaran hukum pidana militer, dan tunduk pada peradilan umum untuk pelanggaran hukum pidana umum. 

“Artinya, jika seorang prajurit melakukan tindak pidana yang bersifat umum, maka semestinya ia diadili di peradilan umum, bukan di lingkungan militer,” ujarnya.

Koalisi menilai, reformasi peradilan militer bukan hanya keharusan moral, tetapi juga mandat konstitusional. Reformasi ini penting untuk menjamin prinsip kesetaraan dihadapan hukum, serta memastikan tidak ada impunitas bagi aparat negara.

“Karena itu, kami menuntut penghentian total praktik multifungsi TNI dalam urusan sipil dan mendesak revisi terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,” tegas Ardi.

Ia juga menyerukan agar pemerintah bersama DPR menghidupkan kembali agenda reformasi sektor keamanan, bukan sekadar menjadikannya simbol seremonial tahunan. 

Menurutnya, Panglima TNI perlu memastikan seluruh prajurit mengemban tugas utama sesuai mandat konstitusional, yakni menjaga kedaulatan dan pertahanan negara, bukan menjalankan fungsi-fungsi sipil yang berada di luar kewenangannya.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS