PARBOABOA, Jakarta – Tren kekerasan oleh prajurit TNI terhadap masyarakat sipil, khususnya di Papua, terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.
Hal itu diungkapkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melalui laporan tahunan bertajuk Catatan Kegagalan Reformasi Sektor Keamanan dan Menguatnya Militerisme yang dipaparkan pada Jumat (3/10/2025).
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, menegaskan bahwa Papua masih menjadi episentrum kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan.
Ia menyebut, sepanjang Oktober 2024 hingga September 2025, daerah tersebut mencatat jumlah kasus kekerasan oleh prajurit TNI paling tinggi di Indonesia.
“Kami melihat ada sejumlah kekerasan di Papua yang terus berulang dan bahkan angkanya cenderung naik,” ujar Dimas dalam konferensi pers yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube KontraS.
Dalam catatan KontraS, hanya dalam setahun terakhir saja terjadi 23 peristiwa kekerasan di tanah Papua.
Dimas menilai peningkatan kasus tersebut tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang terus mengirimkan ribuan prajurit organik maupun non-organik ke wilayah itu.
Data KontraS mencatat sedikitnya 5.859 prajurit TNI dikirim ke Papua dalam periode tersebut.
Penugasan mereka beragam, mulai dari menjaga garis perbatasan dengan Papua Nugini hingga mengawal implementasi Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti program food estate.
Menurut Dimas, orientasi pembangunan yang lebih menekankan pada eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam justru memperburuk situasi.
“Baik pemerintahan Jokowi maupun Prabowo sama-sama melihat Papua sebagai daerah pembangunan, padahal pendekatan semacam ini kerap berimbas pada meningkatnya tindak kekerasan terhadap masyarakat,” ucapnya.
Dampak Pendekatan Militeristik
Dimas menegaskan bahwa pola pendekatan keamanan yang berbasis militeristik hanya menambah daftar panjang korban, baik dari kalangan sipil maupun aparat sendiri.
Dalam satu tahun terakhir, tercatat lima prajurit TNI dan 13 anggota Polri turut menjadi korban benturan akibat pola keamanan tersebut.
Namun hingga kini, belum ada langkah nyata dari institusi pemerintahan untuk mengevaluasi kebijakan itu.
Bahkan, Komisi I DPR RI yang menjadi mitra TNI disebut belum menunjukkan keseriusan meninjau ulang pelaksanaan operasi militer di Papua.
“Kami belum melihat ada respons dari Komisi I DPR RI untuk melihat atau meninjau ekses dari kebijakan militeristik yang dilakukan di Papua,” tegas Dimas.
182 Korban Sepanjang Setahun
KontraS juga merinci bahwa sepanjang Oktober 2024 hingga September 2025, sedikitnya 182 orang menjadi korban kekerasan prajurit TNI di berbagai wilayah.
Jumlah itu berasal dari 85 peristiwa, dengan sebaran kasus meliputi 35 peristiwa penganiayaan, 19 intimidasi, 13 penyiksaan, 11 penembakan, dan tujuh kasus kejahatan seksual.
Dari total korban, 64 orang mengalami luka-luka, 31 orang meninggal dunia, sementara 87 lainnya menjadi korban perlakuan tidak pantas berupa intimidasi dan teror.
Dimas menegaskan bahwa kasus-kasus itu melibatkan seluruh matra TNI, baik Angkatan Darat, Angkatan Laut, maupun Angkatan Udara.
KontraS menyoroti bahwa mayoritas kasus kekerasan terjadi pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI yang resmi berlaku pada akhir Maret 2025.
Menurut Dimas, keberadaan UU tersebut gagal meredam praktik kekerasan dan justru menghidupkan kembali peran militer yang intrusif dalam kehidupan sipil.
“Sejak awal, UU TNI ini diprotes keras oleh kelompok masyarakat sipil dan akademisi karena dinilai menghidupkan kembali dwi fungsi ABRI serta mengganggu ruang sipil,” jelasnya.
Militerisme Menguat di Era Prabowo
KontraS juga menilai bahwa penguatan militerisme semakin kentara di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Sejak awal, KontraS sudah memprediksi hal ini akan terjadi, dan temuan setahun terakhir mengonfirmasi kekhawatiran tersebut.
Dimas menjelaskan bahwa keterlibatan militer kini bukan sekadar simbolik atau kultural, melainkan tampak nyata dalam ruang sipil, termasuk di sektor penegakan hukum.
Ia mencontohkan adanya draf Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber yang memberi kewenangan penyidikan kepada TNI.
“Kami mendapatkan informasi bahwa ada draf RUU Keamanan dan Ketahanan Siber yang juga disusun dan akan memberikan kewenangan kepada penyidik dari TNI untuk melakukan tindakan-tindakan penegakan hukum,” ungkapnya.
Menurut Dimas, fenomena ini jelas bertentangan dengan amanat Reformasi 1998 yang menegaskan pemisahan ranah TNI dan Polri.
Jika tren ini terus berlanjut, cita-cita reformasi sektor keamanan, khususnya pada institusi militer, akan semakin menjauh.
“Ini tentu menyimpang dari amanat Reformasi 1998, menyalahi pemisahan ruang antara TNI dan Polri, serta menjauhkan mimpi reformasi sektor keamanan di tubuh militer,” pungkasnya.