Lampet dan Tradisi Panjang: Kudapan Bersahaja yang menjadi Jalan Hidup

Ompung Desta di rumahnya pada Jumat, 4 Juli 2025. (Foto: PARBOABOA/Indah)

PARBOABOA, Pematangsiantar – Air mata Ompung Desta mengalir pelan saat mengingat masa-masa sulit menyekolahkan keempat anaknya. Semua biaya ditanggungnya sendiri kala itu, tanpa bantuan siapa pun. Itu  hasil menjual lampet [kudapan tradisional Batak Toba] yang dibuatnya  setiap hari dengan tangan sendiri.

“Kalau ingat waktu anak-anak minta uang sekolah, mau nangis aku,” kenangnya sambil mengusap air mata yang tak bisa dibendung.

Sudah lebih dari tiga dekade ia mengabdikan hidupnya pada kue tradisional khas ini. Semua berawal dari kebiasaannya memperhatikan nenek dari suaminya yang lihai membuat lampet. Dari pengamatan itu, tumbuh keyakinan bahwa kue ini bukan hanya warisan rasa, tapi juga harapan bahkan jalan hidup.

Awalnya, ia memilih lampet karena membuatnya tak sulit. Bahannya sederhana: beras dan gula merah. Murah keduanya didapat. Ia tidak pernah menyangka bahwa kudapan ini akan menjadi sumber penghidupan utama keluarga, bahkan menjadi penyangga masa depan anak-anaknya.

Hari-hari Ompung Desta diisi oleh aktivitas yang nyaris tak pernah berubah. Menanak beras, mencairkan gula, dan membungkus adonan dengan daun pisang. Lantas, membawa santapan ke pasar atau menjajakannya keliling kampung. Hujan atau panas tak menjadi alasan baginya untuk berhenti. Dalam setiap bungkusan  yang ia jual tersimpan ketekunan, cinta, dan keteguhan seorang ibu yang ingin anak-anaknya mengenyam pendidikan yang lebih baik.

Kini, di usia senjanya, 63 tahun, ia menjalani hari-hari yang lebih sunyi. Ia tinggal berdua dengan suaminya yang tengah sakit di rumah sederhana yang mereka bangun dari sisa-sisa hasil keringat bertahun-tahun. Dinding rumah itu menyimpan banyak cerita: tentang malam-malam tanpa tidur, tentang pagi-pagi yang dipenuhi aroma dari dalam kukusan, dan tentang tangis yang ia sembunyikan di balik asap dapur.

Keempat anaknya telah merantau. Mereka meninggalkan kampung halaman setelah menyelesaikan pendidikan di bangku SMA, memilih bekerja lebih awal ketimbang mengejar gelar sarjana yang tak mungkin digapai akibat ketiadaan biaya. Bagi orang seperti dia, impian kuliah adalah kemewahan yang sulit dijangkau. Tapi, ia  tak pernah mengeluhkannya. Diterimanya  kenyataan sebagai bentuk keberhasilan lain—anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan tahu diri.

Saat kami berbincang, telepon dari anak bungsunya tiba-tiba menginterupsi percakapan. Ia menghentikan kegiatannya sejenak.  Suaranya melandai saat menyahuti.

“Halo….tunggu sebentar ya, ada yang bertanya soal lampet,” jawabnya dengan nada lembut.

Momen singkat itu mencerminkan segalanya: hubungan yang hangat, rindu yang terpendam, dan sisa-sisa tenaga yang masih ia curahkan untuk tetap menjadi ibu yang hadir meski dari kejauhan.

lampet gula putih

Lampet gula putih dan gula merah (Foto: PARBOABOA/Triveni)

Pagi pukul lima tepat, saban hari ia memulai rutinitas yang nyaris tak pernah berubah selama lebih dari 35 tahun. Tangannya yang kini mulai keriput masih cekatan menakar adonan, menggulung daun pisang, dan menata satu per satu yang dalam kukusan. Jenis yang ia buat tak hanya satu. Selain yang bergula merah, ada lampet pulut (ketan) dan pohul-pohul (hasil kepalan tangan). Semua dibuat dari materi  sederhana: ketan, kelapa, gula merah, dan beras. Seperti dulu tatkala anak-anaknya masih kecil, itulah tiang harapannya.

Harga lampet miliknya tentu saja mengikuti pergerakan zaman. Dari yang awalnya hanya lima puluh rupiah per buah di awal 1990-an, naik perlahan menjadi seratus, lima ratus, dan kini menjadi lima ribu rupiah tiga buah.

Kenaikan harga ini tak pernah membuat hidup lebih sejahtera. Pasalnya, bersamaan dengan itu, harga bahan  pun ikut naik. Pada sisi lain, daya beli konsumen juga berkurang. Tapi,  dia bertahan. Ia percaya, selama masih bisa menggulung daun pisang dirinya masih punya cara untuk hidup.

Bagi dia, lampet bukan sekadar penganan tradisional yang dibungkus daun pisang dan dikukus setiap pagi tapi juga tumpuan hidup. Selain membiayai pendidikan anak-anaknya hingga tamat SMA, dari kue kecil itulah ia memenuhi kebutuhan sehari-hari selama puluhan tahun dan membangun rumah sederhana tempat bernaung. Setiap lembar daun yang dilipat dan setiap adonan yang dibentuk itu  adalah bagian dari cerita ketekunan seorang perempuan yang menggantungkan masa depan keluarganya pada cita rasa warisan leluhur.

Pukul tujuh pagi, setiap hari setelah seluruh lampet selesai dikukus, Ompung Desta memulai ritual hariannya: menjinjing bakul dagangan, mengenakan kain untuk menahan panas, lalu melangkah keluar rumah.

tak kenal lelah

Tak lelah menjajakan dagangan (Foto: PARBOABOA/Triveni)

Dulu, ia masih rutin menjajakan dagangan hingga dua kali sehari. Jalan kaki dari Tomuan ke Pasar Horas tak pernah menjadi beban. Ia menyusuri jalan-jalan kecil kampung dengan suara lantangnya yang khas memanggil pembeli. Suara itu, yang bergema sejak puluhan tahun lalu, menjadi bagian dari irama pagi di lingkungan tempat tinggalnya. Di antara deru kendaraan dan kicau burung, teriakan khas “Lampeeettt, lampeeettt” seperti isyarat bahwa hari baru telah dimulai.

Baginya cara seperti ini malah memberinya keuntungan lebih besar, karena di sepanjang perjalanan menuju pasar, ia sering kali telah menjual habis dagangannya. Para pelanggan setia menyambutnya di jalan, memesan lsebelum ia sempat menggelar tikar di pasar.

Namun waktu berjalan, dan tubuh manusia tak bisa melawan usia. Kini, setelah lebih dari tiga dekade menggantungkan hidup pada lampet, staminanya  mulai menurun. Ia tak lagi sekuat dulu. Perjalanan panjang ke pasar yang dulu bisa ia tempuh dengan berjalan kaki, kini harus diganti dengan angkot. 

Ia hanya sanggup berjualan sekali sehari karena tubuhnya lebih mudah lelah. Tapi, meski raganya melemah semangatnya tetap menyala. Ia masih mengukus lampet setiap pagi, masih memanggil pelanggan dengan suara serak yang akrab di telinga pembelinya,  dan masih percaya bahwa kue kecil buatannya adalah sumber kekuatan terbesar dalam hidupnya.

Meski begitu, kadang tak semua penganan yang ia buat laku terjual di pasar. Ia pun membarter di sana agar dagangan tak menjadi basi dan akhirnya menyampah. Imbalnya adalah kebutuhan pokok seperti sayur, cabai, atau beras.

Cara ini membantunya memenuhi kebutuhan makan sehari-hari tanpa harus mengeluarkan uang tunai. Para pedagang pasar sudah mengenalnya dengan baik sehingga tak keberatan menerima lampet sebagai alat tukar. Bahkan, jika kudapan yang dibawanya cukup banyak, beberapa di antara mereka rela menambahkan sedikit uang sebagai bentuk simpati. Tak ada hitungan rumit dalam pertukaran itu, yang ada hanya kepercayaan dan saling membantu di antara sesama rakyat kecil. .

"Kadang kalau masih banyak sisa, kubarterkan. Tapi kalau banyak sekali, kuminta tambah uanglah dikit,” katanya sambil tertawa kecil.

Tak Pernah Mudah

Selain berjualan keliling, Ompung Desta juga sering menerima pesanan dalam jumlah besar untuk berbagai acara adat. Lampet buatannya kerap dipesan untuk pernikahan, tujuh bulanan, upacara kematian, hingga syukuran pembangunan rumah baru. 

lampet pulut ompung

 

Lampet pulut (foto: Wikipedia)

Permintaan terbesar yang pernah ia tangani mencapai dua ribu buah buah dalam sehari—angka yang luar biasa untuk seorang perempuan yang mengerjakan segalanya sendiri. Ketika pesanan dalam jumlah besar datang, ia harus bangun jauh lebih awal. Pukul dua, bahkan pukul satu pagi, ia sudah mulai, mengukus, dan membungkus satu per satu ldalam gulungan daun pisang. Semua dilakukan dengan kesabaran dan ketelitian, tanpa bantuan siapa pun.

Namun usaha itu tak selalu berbuah manis. Ada kalanya, kue-kue yang sudah dibuat dengan susah payah dibatalkan begitu saja oleh pemesan. Tak ada pemberitahuan sebelumnya, tak ada ganti rugi. Kadang, hanya alasan sepele seperti lupa atau sudah membeli kue lain.

“Kadang kue sudah jadi tapi pembeli tiba-tiba bilang lupa dan sudah beli kue lain,” kenangnya dengan senyum getir. 

Kekecewaan itu menyesakkan dada, terlebih saat semua bahan sudah habis dipakai dan tenaganya terkuras sejak dini hari. Tapi dia bukan perempuan yang mudah menyerah. Kue-kue yang batal itu tidak ia buang. Ia kembali membawa bakul berkeliling kampung, menjajakannya satu per satu, berharap ada cukup pembeli agar modalnya bisa kembali. Daripada menangis di dapur yang sunyi, ia memilih tetap berjalan dan berjuang.

Sementara itu, ketika saat ini sang suami sakit dan tak lagi sanggup bekerja karena usia dan kondisi tubuhnya yang melemah, Ompung Desta mengambil alih pekerjaan sebagai petani yang mengurus sawah milik orang. Ia akan turun ke sawah sendiri saat musim tanam dan panen tiba, membelah lumpur demi sekarung padi yang bisa memperpanjang napas rumah tangga mereka.

Hidup Ompung Desta tak pernah mudah. Air matanya pernah jatuh berkali-kali saat mengenang masa-masa paling sulit saat dagangan tak laku, pesanan dibatalkan, dan suami terbaring lemah tanpa daya. Namun di balik segala getir itu, ia tetap menunjukkan rasa syukur yang dalam. Ia tidak pernah lupa menyebut bagaimana ia bisa tetap bertahan, bagaimana segala kekurangan selalu dicukupkan pada waktunya. Di tengah ketidakpastian hidup, ia menemukan kekuatan dalam keyakinan. Dan itulah yang terus menghidupkannya hingga hari ini.

Penulis: Triveni Gita Lestari Waloni, jurnalis Zonautara.com, Manado [Liputan ini merupakan Tugas Akhir di  Sekolah Jurnalisme Parboaboa (SJP) Pematangsiantar, Batch 2. SJP merupakan buah kerja sama Parboaboa.com dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.]

Editor: P. Hasudungan Sirait

Editor: Hasudungan Sirait
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS