PARBOABOA, Pematangsiantar – Sejak pagi ia sudah menjajakan dagangan dengan penuh semangat. Di atas kepalanya sebuah bakul besar tertata rapi beralaskan gulungan kain. Sementara kain lain terlilit di pinggangnya sebagai penahan agar tubuh yang tetap tegak meski usia tak muda lagi. Sudah 65 tahun, dia.
Pagi itu, kami mengikuti Ompung Rian dalam rutinitasnya. Ia bermukim di Jalan Narumonda Bawah, Pematangsiantar.
Di bawah sinar matahari pagi yang hangat, langkahnya menyusuri gang-gang sempit kampung mantap dan teratur. Usia senja tak mampu meredam semangatnya. Dengan tubuh yang telah melewati puluhan tahun kerja keras, ia tetap teguh menjajakan kue tradisional Batak yang telah menemaninya berdekade, lampet.
Bak seorang pelaut yang mengenali arah angin, Ompung Rian menjelajahi lorong-lorong kampung dengan naluri tajam. Suaranya menggema kuat, memecah kesunyian pagi: “Lampeettt, lamppeett!” Seruan itu bukan hanya panggilan jualan tapi sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di sana.
Di beberapa sudut, warga menyambut panggilan itu dengan sahutan hangat seperti menyongsong kawan lama. Ada yang sedang menyapu halaman, menyiram bunga, atau sekadar duduk-duduk menunggu sarapan datang bak mengetuk pintu.
Setiap kali ada yang menyahut, Ompung Rian berhenti. Dengan hati-hati ia menurunkan bakul, mendekat, dan melayani pembeli dengan sapaan akrab dalam bahasa Batak. Suasananya hangat, tanpa jarak, penuh tawa kecil dan percakapan yang mengalir alami.
Di tengah para pembeli pagi itu, seorang anak laki-laki yang tengah menikmati libur sekolah datang dengan semangat. Uang sepuluh ribu rupiah di tangannya, senyum lebar di wajahnya dan percakapan manis bersama Ompung Rian.
“Mau lampet apa kau Nak, lampet pulut ya..,” tanya Ompung Rian dengan nada lembut dan disertai senyuman manis dari anak lelaki itu. Seperti ia sadar bahwa sarapannya hari itu akan istimewa.
Namun, berjualan lampet bukan hanya soal senyum dan sapaan. Ada gang-gang yang sepi, lorong-lorong yang hening, di mana tak satu pun pintu terbuka atau suara terdengar. Di sana, langkah perempuan itu tetap tak berhenti. Tak ada yang menyambut, tak ada yang membeli, tapi ia terus berjalan, menyusuri jalan sunyi dengan harapan yang tak pernah padam.
Panas matahari makin terasa menyengat di kulit, tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Bakul tetap seimbang di atas kepala, dan semangat tetap terjaga dalam dada.
Kami yang bersamanya, sambil menemani dari belakang, beberapa kali memilih berteduh sejenak menghindari sengatan yang mulai terasa menyiksa. Tapi tak ada keluhan dari Ompung Rian. Ia terus melangkah, menembus panas, hanya dengan satu tujuan: menjual semua dagangan hingga habis.
Saat ia menyadari kami masih setia mengikuti, sorot matanya menunjukkan keprihatinan. Ada nada lelah yang tak disuarakan, tapi terbaca jelas. Ia sempat meminta kami pulang, menyuruh kami berhenti mengikuti langkah beratnya. Tapi kami memilih bertahan. Bukan karena tak lelah, tapi karena kami sadar, hari itu bukan hanya tentang menjual lampet. Itu adalah hari ketika kami menjadi saksi hidup atas ketabahan seorang perempuan yang telah lebih dari tiga dekade menggantungkan hidupnya pada kue kecil yang dibungkus daun pisang.
Dengan sandal jepit usang, langkah yang mantap, dan bakul yang selalu terisi penuh setiap pagi, Ompung Rian menjelma menjadi simbol ketangguhan. Ia bukan hanya penjual lampet, ia adalah wajah dari keberanian yang tak banyak bicara, dari kesabaran yang tak banyak menuntut. Ia adalah kekuatan itu sendiri, dalam bentuk yang paling sederhana dan paling nyata.
Setiap gang yang dilalui seolah telah menjadi bagian dari tubuhnya. Tidak ada keraguan dalam langkahnya; lorong demi lorong seakan sudah tertanam dalam ingatannya. Tidak perlu peta, tidak perlu daftar pelanggan. Semua sudah terekam dalam pengalaman yang dikumpulkan dari hari ke hari, tahun ke tahun. Dalam dirinya, tersimpan peta hidup yang dibangun dari kebiasaan, kesabaran, dan hubungan sosial yang tumbuh alami di jantung kampung.
Dari gang sempit menuju jalanan yang lebih besar, langkahnya tidak goyah. Sesekali ia menembus jalan raya, berharap ada pembeli lain yang belum ia jangkau. Namun, seperti gravitasi, lorong-lorong kecil dengan deretan rumah-rumah sederhana selalu menariknya kembali. Di sanalah ia merasa paling dikenal, paling dibutuhkan.
Setelah berjam-jam berkeliling, ketika matahari mulai naik tinggi dan tubuh mulai memberi isyarat lelah, kami tahu hari itu sudah cukup panjang. Semua telah terjual. Bakulnya kosong, tapi hatinya tidak.
Kami pun mengantarnya pulang, menyusuri jalanan yang perlahan mulai ramai dengan aktivitas warga. Di ujung perjalanan, kami berpamitan, tapi hati kami belum benar-benar ingin berpisah. Kami berjanji akan kembali sore nanti karena kisah seperti ini terlalu berharga untuk dilewati hanya sekali.
Ompung Rian, dalam balutan kain sederhana dan langkah teguhnya, bukan sekadar penjual lampet. Ia adalah perwujudan dari ketekunan yang diam, dari semangat yang tidak menggebu tapi tetap menyala, dan dari kehangatan yang tak dibuat-buat. Di setiap langkahnya, ia membawa lebih dari sekadar kue yang dibungkus daun pisang. Ia membawa harapan. Ia membawa cerita. Ia membawa inspirasi.
Dari Nol
Sore itu pun, ketika kami kembali menemuinya, ia tengah duduk santai di depan sebuah warung kecil milik temannya. Di sana, ia tak sendiri. Beberapa penjual lampet lainnya ikut duduk di sekeliling, membentuk lingkaran hangat yang diisi obrolan ringan dan tawa lepas. Kehadiran kami disambut ramah, bahkan langsung ditawari teh hangat. Di tengah kesederhanaan itu, terasa sebuah rasa kebersamaan yang tak bisa dibeli, sebuah ruang kecil untuk beristirahat sejenak setelah seharian berjibaku dengan panas, lelah, dan langkah-langkah panjang.
Dalam suasana santai itulah, cerita tentang masa lalu Ompung Rian mulai mengalir. Dahulu, ia bekerja di sebuah gudang jahe, tempat yang menjadi sumber penghasilan utamanya sebelum roda nasib berputar. Pemecatan yang datang tiba-tiba membuatnya kehilangan pijakan, namun tak mematahkan semangatnya. Dengan tekad dan sedikit pinjaman, ia memutuskan untuk mencoba berdagang lampet—sebuah resolusi yang kemudian menjadi titik balik dalam hidupnya.
Tak seperti banyak penjual lain yang mewarisi keterampilan membuat lampet dari keluarga, dia belajar dari nol. Ia tidak tumbuh di dapur yang akrab dengan aroma kukusan, namun punya kemauan untuk belajar. Ia mengamati, bertanya, mencoba, dan mengulangi. Dari sesama penjual, ia mengumpulkan serpihan pengetahuan yang perlahan ia satukan menjadi keahlian. Apa yang dulu hanya coba-coba, kini telah menjelma menjadi keterampilan yang menopang hidupnya selama lebih dari tiga dekade.
Setiap pagi, pukul lima, ia bangun dan memulai rutinitas. Ketika kebanyakan orang masih terlelap, ia sudah menyiapkan bahan, mengukus, dan membungkus kue-kue itu satu per satu. Setengah tujuh, ia mulai berjalan kaki, rutenya pun tak main-main. Dari rumahnya di Jalan Narumonda Bawah, ia menyusuri Jalan Toba. Kemudian terus ke Jalan Sidamanik, lalu kembali lagi ke arah rumah. Rute panjang itu ditempuh bukan dengan kendaraan, melainkan dengan langkah kaki yang dilatih oleh waktu dan kebutuhan.
Dalam perjalanannya, ia kerap menarik perhatian warga. Beberapa pembeli tetap, terutama para lelaki paruh baya yang sering berkumpul, mulai memperhatikan kebiasaannya. Mereka menyuarakan kekaguman, tak percaya bahwa perempuan seusianya masih sanggup berjalan sejauh itu, setiap hari, tanpa lelah yang terlihat.
“Namboru [Tante] memang jago kalilah kau. Tahanlah kakimu sudah tiga puluh tahun lebih,’” ucapnya sambil tertawa mengenang momen itu.
Apa yang sering dikatakan orang-orang padanya tentang kekaguman atau ketekunan, tak pernah membuatnya berbangga diri. Ia tahu, pujian itu bukan bentuk penghormatan semata melainkan pengingat: bahwa jalan hidup yang ia tempuh bukan pilihan yang mudah tapi satu-satunya jalan yang tersedia. Sebuah cara untuk bertahan. Untuk bisa makan hari itu. Untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, meski kadang hasilnya tak selalu cukup.
Sudah lebih dari dua dekade ia menjalani hidup sebagai seorang janda. Sejak suaminya meninggal, tak ada lagi tempat bergantung kecuali dirinya sendiri. Anak-anaknya masih sekolah waktu itu dan tak ada waktu untuk bersedih terlalu lama. Ia terus menjajakan lampet, pagi demi pagi, lorong demi lorong. Dari hasil itulah ia bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga lulus SMA. Bukan prestasi yang dicapai dengan gemerlap tapi dengan lelah dan pengorbanan yang nyaris tak terlihat.
Setiap hari, uang hasil penjualan hari sebelumnya ia putar kembali untuk membeli bahan. Beras bahan utama harus direndam terlebih dahulu sebelum ia bawa ke penggilingan langganan. Biayanya tak mahal, lima ribu rupiah untuk satu setengah kilogram beras. Tapi dari situ semua dimulai. Setelah digiling, adonan dicampur dan dibungkus satu per satu. Dalam sehari, tangannya yang terlatih bisa menghasilkan hingga 150 buah lampet.
Namun, tak setiap hari semuanya berjalan mulus. Hujan deras kerap menjadi momok. Tak hanya membuat dagangan sepi pembeli, tapi juga memaksanya menanggung beban emosional ketika harus membuang kue-kue yang tak laku. Rasa lelah karena begadang, berjalan kaki, dan menahan dingin hujan terasa sia-sia saat dagangan tak sempat dijual. Hari-hari seperti itu membuat hatinya ikut berat, lebih berat dari ember lampet yang ia pikul.
Meski begitu bukan berarti hujan selalu menjadi penghalang. Jika rintik hanya ringan, ia tetap melangkah. Bahkan cuaca mendung justru sering membuat orang mencari sarapan hangat. Kudapan yang lembut dan manis itu menjadi pelipur di tengah udara dingin. Ia tak takut basah, asal masih ada harapan kue-kue itu akan berpindah tangan sebelum sore.
Dari dulu, harga lampet pun perlahan berubah. Ia masih ingat ketika pertama kali menjualnya hanya seharga lima puluh perak. Kini, tiga buah dihargai lima ribu rupiah, atau enam buah seharga sepuluh ribu. Harga itu berlaku merata di kalangan penjual lain, termasuk Ompung Panal (62) yang juga sudah berjualan selama lebih dari tiga dekade di kawasan Jalan Tomuan.
Harga lampet memang telah berubah seiring waktu. Dulu hanya seharga lima puluh perak per buah, kini tiga buah dijual seharga lima ribu rupiah, atau enam buah sepuluh ribu. Tapi yang tak berubah adalah tangan-tangan yang tetap mengadon dan membungkus lampet itu setiap pagi tangan para perempuan seperti Ompung Rian dan Ompung Panal (62), yang mengandalkan kekuatan tubuh dan tekad untuk bertahan hidup.
Harapan
Sudah lebih dari tiga dekade Ompung Panal berjualan lampet keliling di kawasan Tomuan. Ia memulai hari sejak pagi, menyusuri lorong-lorong kecil sambil menjajakan lampet hangat, lalu kembali berjualan siang hari di Pasar Parluasan. Meski usianya tak lagi muda langkahnya tak berhenti. Lampet telah menjadi bagian dari hidupnya sekaligus sandaran ekonomi yang ia genggam dengan erat.
Sebelum menjadi penjual lampet ia pernah mencoba berdagang daging dari kampung ke kampung. Tapi jarak yang jauh dan pendapatan yang tak menentu membuatnya lelah. Sampai suatu hari ia melihat beberapa temannya berjualan lampet. Dari situlah ia mulai mencoba, dan tak pernah berhenti sejak itu. Baginya, menjual lampet bukan hanya pekerjaan, tapi juga harapan. Perputaran uangnya cepat. Dari hasil itu ia bisa langsung membeli beras, ikan, atau keperluan dapur lainnya untuk hari itu juga.
Tak jauh berbeda dari Ompung Rian, hidup Ompung Panal juga berjalan di atas garis tipis antara cukup dan tidak cukup. Penghasilan dari jualan ia sesuaikan untuk kebutuhan makan dan menyekolahkan anak-anaknya. Salah satu anak lelakinya kini tinggal bersamanya, meski hanya tamat SMA. Dan ia masih bersama suaminya berbagi hidup dan pekerjaan yang tak henti sejak subuh hingga siang.
Hujan juga bukan alasan untuk berhenti. Jika rintiknya tak terlalu deras, Ompung Panal pun tetap berangkat membawa dagangan. Ia tahu, setelah lampet matang tak ada waktu untuk diam di rumah. Ada listrik yang harus dibayar, dapur yang harus tetap menyala, dan kebutuhan lain yang tak menunggu belas kasihan siapa pun.
Yang kadang membuat hatinya berat bukanlah lelah atau panas matahari, melainkan kenyataan bahwa pesanan untuk pesta-pesta besar seringkali tak kunjung dibayar. Di satu sisi, mereka harus tetap memenuhi permintaan. Di sisi lain, kebutuhan hidup terus mendesak. Uang hasil jualan yang belum diterima memaksa mereka berutang sana-sini, hanya untuk menyambung hidup hari itu juga.
“Itulah sedihnya,” kata mereka hampir bersamaan. Begitu uang datang, langsung habis. Tak ada yang bisa disimpan. Tak ada yang bisa dipegang lama-lama.
Dalam cerita Ompung Desta, Ompung Rian dan Ompung Panal kita tak hanya melihat potret perempuan penjual kue tradisional. Kita melihat tubuh-tubuh yang tak pernah berhenti bekerja. Tangan-tangan yang menjaga warisan rasa, sekaligus menyambung hidup dalam keheningan dan kesabaran. Mereka bukan sekadar pelestari lampet, tetapi penjaga kehidupan yang diam-diam mengajarkan pada kita tentang arti bertahan, tentang cinta yang diwujudkan dalam bentuk paling sederhana: kue hangat di pagi hari. (Bersambung)
Penulis: Triveni Gita Lestari Waloni, jurnalis Zonautara.com, Manado [Liputan ini merupakan Tugas Akhir di Sekolah Jurnalisme Parboaboa (SJP) Pematangsiantar, Batch 2. SJP merupakan buah kerja sama Parboaboa.com dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.]
Editor: P. Hasudungan Sirait