PARBOABOA, Jakarta - Ketegangan antara Amerika Serikat dan Kanada kembali memanas karena dipicu isu geopolitik yang menyentuh dukungan terhadap kemerdekaan Palestina.
Presiden AS Donald Trump menyampaikan kekecewaannya setelah Kanada secara resmi menyatakan dukungan terhadap pembentukan negara Palestina.
Melalui akun resminya di Truth Social, Trump menyatakan bahwa langkah Kanada tersebut akan memperumit jalannya perundingan dagang antara kedua negara.
“Kanada baru saja mengumumkan bahwa mereka mendukung kemerdekaan Palestina. Itu akan membuat kami sulit membuat kesepakatan dagang dengan mereka,” tulis Trump dalam unggahan tersebut.
Pernyataan itu dilontarkan hanya sehari sebelum tenggat 1 Agustus yang ditetapkan oleh Trump sebagai batas akhir bagi Kanada untuk menyetujui tarif perdagangan baru.
Jika tidak tercapai kesepakatan hingga batas waktu tersebut, pemerintah AS akan memberlakukan tarif 35 persen atas seluruh produk asal Kanada yang tidak termasuk dalam perjanjian dagang Amerika Serikat–Meksiko–Kanada (USMCA).
Langkah Kanada dalam mendukung pengakuan terhadap negara Palestina disampaikan oleh Perdana Menteri Mark Carney dalam pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Negara ini mengikuti jejak Perancis dan Inggris yang lebih dulu menyatakan dukungan serupa.
Dalam pernyataannya, Carney menegaskan bahwa “Kanada mengutuk fakta bahwa pemerintah Israel telah membiarkan bencana terjadi di Gaza,” merujuk pada krisis kemanusiaan yang memburuk akibat blokade dan agresi militer Israel sejak Oktober 2023.
Dari sisi ekonomi, Kanada merupakan mitra dagang terbesar kedua bagi Amerika Serikat setelah Meksiko, sekaligus pembeli terbesar produk ekspor dari Negeri Paman Sam.
Data dari Biro Sensus AS mencatat bahwa sepanjang tahun lalu, Kanada mengimpor barang dari AS senilai 349,4 miliar dolar AS (sekitar Rp5.749 triliun), sementara ekspor Kanada ke AS mencapai 412,7 miliar dolar AS (sekitar Rp6.790 triliun).
Kanada juga memainkan peran penting sebagai pemasok utama baja dan aluminium ke pasar AS, dua sektor yang sebelumnya telah dikenai bea masuk tambahan.
Jika tarif baru diterapkan, sektor otomotif Kanada pun ikut terancam, mengingat ketergantungan ekspornya ke pasar Amerika.
Dengan latar belakang politik dan ekonomi yang saling berkelindan, keputusan Kanada untuk menyatakan dukungan kepada Palestina kini membawa konsekuensi dan risiko nyata bagi hubungan dagang yang selama ini saling menguntungkan kedua negara.
Kanada Kecewa
Perdana Menteri Kanada, Mark Carney, mengungkapkan kekecewaannya atas kebijakan Presiden Donald Trump, yang menaikkan tarif impor terhadap produk Kanada menjadi 35 persen.
Kebijakan tersebut muncul setelah Kanada menyatakan niatnya untuk mengakui negara Palestina dalam Sidang Umum PBB mendatang pada September.
Dalam perintah eksekutif yang diteken Trump, tarif barang Kanada yang sebelumnya berada di angka 25 persen kini naik menjadi 35 persen.
Meski demikian, sebagian besar produk yang tercakup dalam Perjanjian Amerika Serikat–Meksiko–Kanada (CUSMA/USMCA) tetap dibebaskan dari tarif tambahan ini.
“Pemerintah Kanada sangat kecewa atas langkah ini,” ujar Carney dalam pernyataan resminya.
Trump berdalih bahwa keputusan tersebut berkaitan dengan kegagalan Kanada dalam bekerja sama untuk mengendalikan arus masuk fentanil dan obat-obatan terlarang ke wilayah AS.
Dalam perintah eksekutif itu juga disebutkan langkah ini merupakan respons atas sikap balasan Kanada terhadap kebijakan Washington.
Menanggapi tuduhan tersebut, Carney menegaskan bahwa pemerintahnya telah mengambil langkah serius dalam memerangi perdagangan gelap fentanil.
Ia menjelaskan bahwa kontribusi Kanada terhadap impor fentanil di Amerika Serikat hanya sekitar satu persen, dan pemerintah terus berupaya keras menurunkan angka tersebut.
Ia juga menyampaikan bahwa Ottawa berkomitmen penuh pada pelaksanaan perjanjian perdagangan trilateral.
“Dengan berlakunya CUSMA, tarif rata-rata AS terhadap barang-barang Kanada tetap menjadi yang paling rendah dibandingkan dengan negara mitra lainnya,” kata Carney.
Namun ia juga menyoroti bahwa beberapa sektor utama Kanada, termasuk industri kayu, baja, aluminium, dan otomotif, terdampak cukup signifikan akibat kebijakan tarif terbaru AS.