Geliat Musik Siantar: Jalan Sunyi Musik Metal, Bertahan Tanpa Kompromi

Band Bloodnesia. (Foto: Instagram/@bloodnesiamusic)

PARBOABOA, Pematangsiantar – Band metal paling senior di Siantar, itulah Paku Mati. Siantar Corps Grinder (SCG) semula namanya, kelompok cadas yang lahir pada 1997 konsisten mengangkat death metal selama lebih dari dua dekade. Begitu tua pun,  namanya tetap tak masuk  radar nasional. Bukan karena kualitas tapi karena narasi mereka lebih sulit dijangkau oleh pasar luas.

"Kalau kami niat cari duit, band ini sudah bubar dari dulu," kata Thongat, sang  vokalis. 

Mereka merilis dua mini album dan satu full album serta menjual rilisan secara fisik hingga ke Bandung, Surabaya, dan Jakarta. Kini mereka sadar bahwa mereka terlambat masuk ke digital. Bahkan data master album pertama hilang, menyisakan dua album saja di YouTube dan Spotify.

Meski begitu mereka tak patah arang. Lagu Gondang Hamatean jadi eksperimen pertama mereka menggabungkan etnik Batak dengan metal. Lagu ini menjadi tonggak baru. Mereka sadar bahwa pola Jasad (metal Sunda dari Bandung) bisa relevan diterapkan di tanah Batak. Tapi proses kreatif yang lambat membuat eksperimen ini belum terulang.

Album keempat sedang dikerjakan, tapi tidak dipatok target waktu. "Semangat dan mood personel menentukan. Bisa selesai 10 lagu, bisa cuma lima."

Bloodnesia mewakili generasi metal baru Siantar. Mereka terbentuk 2018, dengan semangat bangkit dari ketiadaan infrastruktur musik. Ashri Sembiring, vokalis, membenarkan bahwa sekarang semangat metal kian pupus di Siantar. Buktinya mudah dilihat. Hanya Eternal Studio yang tersisa, yang lain tutup sudah. Kalau hendak mixing dan mastering harus di Pulau  Jawa karena peralatan di Siantar tidak memadai. Pentas seni di sekolah jadi formalitas. Anak muda kini lebih sibuk bikin konten cepat saji. Regenerasi lumpuh.

Begitupun, tetap berkarya Bloodnesia. Empat single dirilis, lagu Bring Me didaftarkan ke Anugrah Musik Indonesia (AMI) Awards 2024. Merchandise seperti kaos dan topi mereka produksi sendiri. Namun, panggung sulit. Mereka memang tampil di acara Bank Indonesia tapi itu bukan karena idealisme budaya melainkan karena butuh massa siap pakai. Lapangan Adam Malik, Lapangan Pariwisata, dan Taman Bunga kini sepi dari acara musik.

vokalis paku mati

Vokalis band Paku Mati, Thongat (kiri) dan Gandi (Foto: PARBOABOA/Indah)

Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang sempat diberlakukan jadi hambatan besar. Meski sudah dicabut 2025, kerusakan ekosistem musik terlanjur dalam. Sementara kota seperti Bandung menyediakan ruang regenerasi, Siantar hanya memberi tempat pada yang punya relasi. Bagi band metal, ini seperti seleksi sosial, bukan seleksi kualitas.

Mereka membawa lirik tentang kematian, kritik sosial, dan realitas hidup keras. Namun,  tanpa media lokal yang menyuarakan, tanpa festival tahunan, dan tanpa infrastruktur, pesannya tak pernah sampai ke telinga publik luas.

Idealisme

Bloodnesia tidak mengikuti arus budaya populer yang kini ramai mengangkat unsur lokal sebagai daya tarik utama. Mereka tetap memilih untuk tampil dengan gaya dan isi yang mereka yakini, tanpa harus mengubah lirik menjadi bahasa daerah atau menyesuaikan estetika demi pasar. Bagi mereka, keaslian bukan soal mengikuti tren tapi mempertahankan karakter.

Ashri menyatakan, bandnya tidak ingin hanya menyesuaikan diri agar cepat dikenal. Mereka lebih memilih untuk membangun pendengar secara perlahan tapi jujur.  "Kita tetap idealis saja."

Baginya, membawa budaya bukan kesalahan, tapi bukan juga satu-satunya jalan. Yang lebih penting adalah punya visi dan konsistensi bukan sekadar mengejar eksistensi.

Musik metal Pematangsiantar mengemuka sedari penghujung 1990-an dan surut sejak  2016. Sejarah kemudian mencatat kiprah para penampil cadas seperti  Peti Mati, Ultimatum, Utusan Terakhir, Trancula, Archadhemit, Disaster,  Grave, Sekarat Berkarat, Metalitikum, Cried Angel, Cramotak, Black Blood, dan Paracriva.

Komunitas juga tumbuh menyahuti semangat zaman. Yang pertama mengada adalah Siantar Death Metal Horde (SDMH).  Siantar Underground Community (SUC) dan  Siantar Death Metal Sindilat (SDMS) muncul kemudian.

Mundur Drastis

Dalam lima tahun terakhir perjalanan musik di Siantar mundur drastis. Demikian penilaian Janter Sidauruk. Pengamat musik lokal berusia 31 tahun ini kami temui pada satu petang di Café Tattoo, Pematangsiantar, tempatnya bekerja. Seperti biasa, ia tampil dengan gaya khas bertato dan berkupluk.

Ia menyebutkan tiga indikator utama kemunduran: minimnya ajang berbasis komunitas, menurunnya jumlah karya baru yang dikurasi dengan baik, serta banyaknya pelaku musik yang menghilang dan bahkan harus mengakhiri kegiatan di industri ini.

“Banyak orang mungkin mendengar cerita manis.  Tapi, dari sudut pandang saya sebagai pengamat, skenanya [skenario] sedang tidak sehat.”

Ia juga melihat faktor demografis turut memengaruhi. Siantar bukan kota industri atau wisata;   berbeda dari  Jakarta, Medan dan Bandung yang memiliki infrastruktur kreatif lebih matang. 

vokalis band bloodnesia

Vokalis Bloodnesia, Ashri Sembiring (Foto:PARBOABOA/Indah)

“Di Jakarta, musisi tidak hanya memikirkan lagu yang bagus tapi juga persona, branding, koneksi komunitas, dan strategi promosi. Itu lapisan-lapisan kompleks yang belum kita kuasai.”

Janter membandingkan Siantar dengan Medan. Menurutnya, banyak band di Medan kini mampu merilis satu album dalam setahun. Sebuah  indikasi keproduktivan yang tinggi.  “Sedangkan di Siantar, band mana yang bisa konsisten menghasilkan album dalam setahun? Hampir tidak ada.”

Skenario musik lokal itu, menurut Janter Sidauruk,  sebenarnya nyawanya ada di komunitas. Ia menggambarkan komunitas sebagai ruang bagi musisi untuk berkembang dan mendapat dukungan awal terhadap karya mereka. 

“Tanpa komunitas, band itu seperti ikan di pinggir jalan yang meski ada airnya tetap tak akan bertahan lama.”

Ia menyayangkan bahwa progresivitas komunitas musik di Siantar kini telah merosot dibandingkan masa lalu. Dulu, kolaborasi dan produktivitas berjalan seiring. Sekarang, komunitas masih ada, tapi lebih banyak diam.

Ada pandangan bahwa komunitas hanyalah wadah dan band harus berjalan sendiri. Janter tak menampik, tapi menegaskan,  “Benar, setiap band harus punya strategi bertahan hidup. Tapi sejauh mana mereka bisa berjalan tanpa kolam yang mendukung?”

 

pengamat musik janter

Pengamat musik Janter Sidauruk (Foto: PARBOABOA/Indah)

Di tengah runtuhnya komunitas ini, musisi kini juga menghadapi tantangan baru, era digital. Banyak musisi muda berpikir bahwa merilis lagu di Spotify atau platform lain akan langsung membawa kesuksesan. Namun kenyataannya persaingannya sangat ketat dan imbal balik finansialnya sangat kecil. 

“Dalam setahun, jutaan lagu diunggah. Royalti per stream itu bisa jadi hanya 0,001 rupiah. Tanpa karya yang konsisten dan dukungan komunitas, sulit menonjol.”

Ia pun menegaskan bahwa karya adalah harga diri musisi. Tanpa karya, musisi kehilangan pegangan baik untuk regenerasi, membangun reputasi, maupun bersaing secara nasional.

Membangun kembali ekosistem musik Siantar harus dimulai dari karya. Demikian menurut Janter.  Ia menyerukan perubahan mentalitas di kalangan musisi lokal.  “Karya itu harga diri. Tanpa produktivitas, kita tak bisa bicara soal dukungan pemerintah, media, atau regenerasi.”

Musisi senior, kata Janter,  harus memberi contoh dengan menghasilkan karya berkualitas dan berdampak, sementara generasi muda perlu diedukasi soal realitas industri musik. Ia menolak terus-menerus terjebak dalam narasi klise seperti “Siantar sepi acara” atau “musiknya gitu-gitu aja.” Bagi dia, itu bukan akar masalah.

Industri musik bukan soal ramai atau tidaknya event, tapi tentang ekosistem yang hidup. “Kita harus bergerak, berkarya, dan membangun ruang bersama. Siantar masih punya potensi untuk mencatatkan namanya di peta musik nasional, asalkan kita mau melangkah bersama,” pungkasnya. 

Janter Sidauruk memang banyak benarnya.  (Tamat)

Penulis: Ris Taruli Aritonang, Amelia Wulandari Pardede, Triveni Gita Lestari Waloni, dan Michael Josua Robert Sijabat (peserta Sekolah Jurnalisme Parboaboa (SJP) Pematangsiantar, Batch 2. SJP merupakan buah kerja sama Parboaboa.com dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia).

Editor: P. Hasudungan Sirait

Editor: Hasudungan Sirait
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS