Pasangan Sesama Jenis di Banda Aceh Dijatuhi Hukuman 80 Kali Cambuk

Dua pria di Banda Aceh dijatuhi hukuman 80 kali cambuk oleh Mahkamah Syar’iyah karena kedapatan melakukan hubungan sesama jenis (Foto: Unsplash).

PARBOABOA, Jakarta - Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh menjatuhkan hukuman 80 kali cambuk kepada dua pria berinisial QH (20) dan RA (21) yang terbukti melakukan hubungan sesama jenis (jarimah liwath). 

Putusan tersebut dibacakan pada Senin (11/8/2025) oleh Ketua Majelis Hakim Rokhmadi, bersama hakim anggota Ramli dan Safnizar. 

Majelis hakim menyatakan, kedua terdakwa terbukti melanggar Pasal 63 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Hukuman cambuk itu akan dikurangi masa penangkapan dan penahanan yang telah mereka jalani.

Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Alfian, sebelumnya menuntut keduanya dengan hukuman 85 kali cambuk. 

Menanggapi putusan hakim, ia mengaku tidak sepenuhnya puas karena jumlah cambukan setelah pengurangan masa tahanan menjadi sedikit di bawah 80 kali, meski tetap dianggap masih dalam batas yang dapat diterima.

Kedua terdakwa menyatakan menerima putusan tersebut. Perkara ini bermula saat patroli Polisi Syariat menangkap QH dan RA di dalam toilet Taman Sari pada Rabu (16/8/2025) malam. 

Mereka kemudian diamankan untuk menjalani proses hukum sesuai ketentuan syariat yang berlaku di Aceh.

Qanun Jinayat di Aceh

Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 mengatur sejumlah jarimah (tindak pidana) berdasarkan prinsip hukum Islam, di antaranya liwath, zina, maisir (perjudian), dan khamar (minuman beralkohol). 

Hukuman cambuk menjadi salah satu bentuk uqubat (sanksi) yang lazim dijatuhkan.

Data dari berbagai putusan Mahkamah Syar’iyah menunjukkan bahwa vonis cambuk untuk kasus liwath umumnya berada di kisaran 80–90 kali, tergantung pada pembuktian dan pertimbangan majelis hakim. 

Jumlah cambukan dapat berkurang jika terdakwa telah menjalani masa penahanan atau menunjukkan sikap kooperatif selama proses hukum.

Meskipun demikian, penerapan hukuman cambuk di Aceh kerap menjadi sorotan, baik di dalam negeri maupun internasional. 

Pendukung kebijakan ini berpendapat bahwa hukuman fisik sesuai syariat memberi efek jera dan menjaga norma sosial. 

Sebaliknya, kelompok pegiat HAM menilai praktik tersebut melanggar prinsip hak asasi manusia dan mendorong pemerintah mencari alternatif sanksi yang lebih humanis.

Kasus QH dan RA menambah daftar panjang putusan cambuk di Aceh. 

Meski hukuman ini terus menuai perdebatan, pemerintah daerah menegaskan bahwa Qanun Jinayat merupakan produk hukum daerah yang harus dihormati dan dijalankan sesuai kesepakatan bersama masyarakat Aceh.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS