PARBOABOA, Jakarta - Penyelenggaraan ibadah haji umumnya identik dengan antrean panjang, biaya besar, dan kuota yang serba terbatas.
Namun, di balik kerinduan jutaan umat untuk menunaikan rukun Islam kelima, muncul dugaan praktik curang dalam pembagian kuota tambahan tahun 2023–2024 yang kini tengah diselidiki KPK.
Lembaga antirasuah itu mengumumkan, kerugian negara dalam perkara ini diperkirakan melampaui Rp1 triliun. Estimasi tersebut, meski masih awal, sudah dibicarakan dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Perhitungan internal kami menunjukkan kerugian lebih dari Rp1 triliun. Namun, BPK akan melakukan penghitungan lebih rinci dan resmi,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo pada Senin (11/8/2025).
Fokus penyidikan KPK adalah pembagian kuota tambahan sebesar 20.000 jemaah yang dinilai tidak mengikuti aturan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 mengatur, porsi kuota haji khusus maksimal hanya 8 persen dari total kuota haji Indonesia. Jika ketentuan ini dilanggar, maka jemaah reguler kehilangan haknya, sementara pihak-pihak tertentu diuntungkan.
“Penyidik sedang menelusuri siapa saja yang terlibat dalam penyimpangan alokasi kuota ini,” kata Budi.
Indikasinya, proses distribusi kuota dilakukan tanpa transparansi dan melibatkan pihak-pihak di luar mekanisme resmi.
Secara ideal, kuota haji Indonesia dibagi menjadi dua, yakni kuota reguler yang dikelola pemerintah dan kuota khusus yang biasanya dipegang Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
Dalam praktiknya, kuota tambahan seharusnya dibagi proporsional sesuai aturan. Namun, temuan awal KPK mengindikasikan sebagian kuota justru dialihkan untuk kepentingan tertentu atau melanggar asas keadilan.
Dampak Luas
Selain kerugian negara yang besar, praktik ini disebut berpotensi merugikan masyarakat secara sosial.
Jemaah yang sudah menunggu bertahun-tahun bisa terdepak oleh mereka yang mendapat jalur khusus tanpa prosedur resmi. Kasus ini juga mencoreng citra penyelenggaraan ibadah haji Indonesia di mata publik.
Pihak KPK memastikan penyelidikan akan terus berjalan, sambil menunggu hasil perhitungan final BPK.
“Kami ingin memastikan bahwa aturan dipatuhi, dan mereka yang menyalahgunakan wewenang bertanggung jawab,” tegas Budi.