PARBOABOA, Jakarta - Isu transparansi dan distribusi royalti kembali mencuat bersamaan dengan pelantikan Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) periode 2025–2028.
Dua organisasi musisi, Vibrasi Suara Indonesia (VISI) dan Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI), melalui surat terbuka mendesak LMKN dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) segera melaporkan penggunaan royalti yang telah dibayarkan oleh Mie Gacoan.
Kasus ini berawal dari sengketa hak cipta antara PT Mitra Bali Sukses (MBS), pemegang lisensi merek Mie Gacoan di Bali, dan Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI).
Perselisihan berakhir damai setelah MBS melunasi kewajiban lisensi menyeluruh (blanket license) sebesar Rp2,26 miliar untuk periode 2022–2025. Lisensi tersebut mencakup 65 gerai MBS di Bali.
VISI dan FESMI menegaskan pentingnya laporan terbuka terkait distribusi royalti agar publik kembali percaya pada sistem yang dijalankan LMKN dan LMK.
Terlepas dari penegasan tersebut, sorotan terhadap lembaga pengelola royalti bukan hal baru. Belum lama ini, musisi Ari Lasso menyampaikan kekecewaannya kepada Wahana Musik Indonesia (WAMI) lewat media sosial.
Ia menilai pengelolaan royalti WAMI tidak kredibel, mulai dari jumlah yang terlalu kecil hingga adanya kesalahan transfer dana.
Mantan vokalis Dewa 19 itu menambahkan, ia "tidak pernah mendapatkan laporan yang transparan terkait perhitungan royalti lagu-lagu ciptaannya."
Polemik ini kemudian ditanggapi Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, dengan rencana melakukan audit terhadap WAMI demi memastikan transparansi.
Secara regulasi, kewenangan LMKN diatur dalam PP No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Lembaga ini memiliki tugas menghimpun dan menyalurkan royalti dari para pengguna karya musik.
Namun, Menteri Hukum Agtas mengungkapkan capaian LMKN masih jauh dari optimal. Total royalti yang berhasil dikumpulkan baru sekitar Rp270 miliar per tahun, sedangkan Malaysia mampu meraih Rp600–700 miliar per tahun.
Ia mencontohkan, ada pencipta lagu yang hanya mendapat Rp60 ribu dalam setahun. Kondisi ini disebut sebagai sinyal perlunya sistem distribusi yang lebih adil.
Transparansi Minim, Audit Publik Mandek
Direktur Komunikasi FESMI, Dzulfikri Putra Malawi dalam keterangan pada Kamis (14/8/2025), menilai akar persoalan LMKN dan LMK terletak pada kurangnya transparansi.
Seharusnya, menurut aturan, audit keuangan maupun kinerja dilakukan setidaknya setahun sekali oleh akuntan publik dan diumumkan kepada masyarakat. Namun praktiknya, hal itu jarang terlaksana.
Dari sisi pencipta lagu, banyak yang mengeluhkan dasar perhitungan royalti tidak jelas. Kesalahan distribusi pun kerap terjadi.
Dzulfikri menyebut, ada kasus di mana laporan hanya berupa kuitansi tanpa rincian, sehingga menimbulkan kecurigaan apakah distribusi dilakukan sesuai aturan.
Hal serupa juga dikeluhkan penyelenggara acara dan pemilik usaha. Mereka ragu apakah royalti yang dibayarkan benar-benar diterima pencipta lagu.
Menurut founder Wara Musika itu, meski tiap LMK punya sistem berbeda, prinsip transparansi, akuntabilitas, dan integritas harus dijunjung tinggi.
“Mereka diberi mandat untuk mengelola hak ekonomi para pencipta. Maka fokus utama seharusnya melayani para pencipta, bukan sebaliknya,” tegasnya.