Tambang Nikel Kembali Beroperasi di Raja Ampat, Greenpeace Ingatkan Ancaman Ekologi

Lokasi penambangan PT Gag Nikel yang operasionalnya dihentikan sementara di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya, Minggu (8/6/2025). (Foto: Dok. Kompas)

PARBOABOA, Jakarta – Setelah sempat terhenti sejak awal Juni 2025, aktivitas pertambangan PT Gag Nikel di Raja Ampat kembali menggeliat.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan perusahaan yang merupakan anak usaha PT Aneka Tambang Tbk itu mulai beroperasi lagi sejak Rabu (3/9/2025).

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Tri Winarno, mengungkapkan keputusan ini diambil setelah evaluasi Program Penilaian Kinerja Perusahaan (PROPER) menunjukkan bahwa PT Gag Nikel meraih peringkat hijau.

Penilaian ini berarti perusahaan dianggap taat pada aturan tata kelola lingkungan sekaligus menjalankan program pemberdayaan masyarakat.

“Keputusannya melibatkan lintas kementerian, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kelautan dan Perikanan,” jelas Tri pada Rabu (10/9/2025).

Namun, kabar ini tidak sepenuhnya disambut positif. Di balik kembalinya operasi tambang, muncul keresahan besar terkait masa depan ekosistem Raja Ampat yang dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia.

Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, menegaskan bahwa keberadaan tambang di Pulau Gag harus menjadi perhatian serius.

“Pertambangan di Raja Ampat tidak boleh dianggap sepele, karena kawasan ini memiliki nilai ekologis yang sangat tinggi,” ujarnya pada Jumat (12/9/2025).

Arie menyoroti posisi Pulau Gag yang termasuk pulau kecil atau tiny island, kawasan yang seharusnya tidak tersentuh aktivitas tambang.

Menurutnya, izin tambang yang diberikan justru lebih luas dari ukuran pulau itu sendiri, dengan potensi dampak ekologis yang amat besar.

“Pulau itu luasnya sekitar 6.000 kilometer persegi, tapi izin tambangnya mencapai hampir 13.000 kilometer persegi,” tegasnya.

Lebih jauh, Arie mengingatkan bahwa metode pertambangan nikel di Indonesia umumnya menggunakan sistem open pit mining atau tambang terbuka, yang mengharuskan pembukaan hutan secara masif.

Hal ini membuat hutan Pulau Gag berisiko hilang secara perlahan. “Nikel itu muncul di permukaan tanah, sehingga penggalian akan langsung merusak hutan, tanah, dan sulit dipulihkan.

Dampaknya bukan hanya di darat, tapi juga meluas ke pesisir, biota laut, hingga terumbu karang,” paparnya.

Kekhawatiran Greenpeace semakin kuat mengingat Raja Ampat terkenal sebagai “surga terakhir di Bumi” dengan keragaman koral yang tak tertandingi.

Penambangan nikel dipandang sebagai ancaman langsung terhadap ekosistem laut dan ruang hidup masyarakat adat di Pulau Gag.

“Tambang ini hanya berlangsung sebentar—gali, angkut, lalu pergi—tetapi meninggalkan luka ekologis dan sosial yang panjang bagi warga setempat,” tambah Arie.

Sebagai bentuk penolakan, Greenpeace bersama lebih dari 60 ribu orang telah menandatangani petisi mendesak penghentian operasi tambang PT Gag Nikel.

Mereka menuntut pemerintah segera mencabut izin pertambangan, serta membatalkan rencana pembangunan smelter di Sorong maupun Raja Ampat.

“Tak ada nikel yang sepadan dengan hancurnya ekosistem Raja Ampat,” tegas Arie.

Greenpeace juga menilai beroperasinya kembali tambang nikel di Pulau Gag telah melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Arie menilai langkah pemerintah ini bukan hanya mengabaikan aturan, tetapi juga mengkhianati komitmen iklim Indonesia.

“Keputusan ini akan memperdalam krisis ekologis yang kini sudah nyata mengancam negeri,” pungkasnya.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS