PARBOABOA, Pematangsiantar – Apakah gerakan sosial yang beberapa pekan terakhir mendadak merebak di negeri kita—Pati, Jakarta, Makassar, Bali, dan yang lain—akan berkelanjutan atau sebaliknya telah kehilangan bara apinya? Lantas, bagaimana pula persamaan dan perbedaannya dengan yang terjadi pada 1998?
Pertanyaan ini dilontarkan seorang peserta tadi pagi di kelas Sekolah Jurnalisme Parboaboa (SJP), Pematangsiantar. Saat itu Rheinhardt Sirait sedang membawakan materi ihwal “Gerakan Sosial untuk Menegakkan HAM dan Demokrasi di Indonesia”. Jawaban aktivis 1998 yang kemudian mendoktor di Universitas North Western, Australia?
Mantan ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) yang disertasinya tentang ’digital politics’ memetakan dulu gerakan sosial kekinian dengan yang terjadi pada 1998 sebelum menjawab. Ia menyatakan yang dilakukan kaum muda zaman ‘now’ sangat lain bentuknya.
Tidak terpusat, tidak bergantung pada satu tokoh atauk organisasi besar, itu ciri gerakan anak muda sekarang. Lantas, isunya aneka. Korupsi, kerusakan lingkungan, ketimpangan gender, nasib buruh dan pengemudi ojek online (ojol) yang tak menentu, Papua merdeka, dan yang lain saling berkelindan. Lantas, cara mengangkatnya lewat media sosial kreatif betul sehingga bisa viral. Satu lagi, para pegiatnya terhubung secara global. Solidaritas terhadap Jolly Roger di Indonesia, umpamanya, terhubung dengan para pegiat gerakan di Nepal dan Perancis.
“Modelnya sangat lain dengan yang di zaman kami dulu,” ujar peraih master dari Institute of Social Sciences (ISS, Den Haag). “Namun yang dihadapi kurang lebih sama kalau dilihat dari sisi jurus-jurus yang dimainkan serta militer yang dijadikannya instrumen utama.”
Setelah membanding, sarjana ilmu politik dari Universitas Indonesia yang pernah mendosen di Pattani (Thailand selatan) dan di Jakarta pun memberi jawaban. “Gerakan sosial seperti kemarin sangat mungkin akan berlanjut sebab masalah utama di Indonesia—korupsi dan rakyat banyak yang semakin kesulitan mencari uang di zaman sekarang—belum ditangani dengan serius.”
Angkatan Ke-3
Sekolah Jurnalisme Parboaboa (SJP) Angkatan-3 dimulai kemarin. Pesertanya 10 anak muda yang datang dari pelbagai tempat termasuk Payakumbuh, Bekasi, Tarutung, Siantar, Pulau Samosir, dan Pematangsiantar.
Seperti Batch-2, program ni berlangsung tiga bulan dengan tujuan melahirkan kaum muda yang kritis, kreatif, dan piawai berkomunikasi. Selain menjadi jurnalis, sangat mungkin mereka nanti menjadi ‘content creator’ atau penulis. Penyelenggaranya adalah media kami, Parboaboa.com, yang bekerjasama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Kali ini Indonesia Institute of Journalisme (IIJ) ikut bermitra.
Masa belajar yang tiga bulan kami bagi menjadi tiga tahap. Meluaskan wawasan sehingga mengenal Indonsia yang sesungguhnya, itulah tujuan utama di bulan pertama. Maka, materinya adalah ihwal potensi besar negeri kita serta puspa masalah yang kian membelit. Konflik agraria, masyarakat adat yang terasing kendati berstatus mayoritas, SDM yang payah, budaya Nusantara yang semakin terpinggirkan, lingkungan yang bertambah merana, filantopi kemanusiaan yang belum kunjung bertumbuh, gerakan sosial yang masih saja minim, tradisi ilmiah yang belum tumbuh dengan sehat, kaum muda yang belum banyak beroleh ruang lapang untuk aktualisasi diri, masyarakat yang belum banyak berwiraswasta, dan yang lain.
Di daftar pembicara bulan kesatu terdapat nama seperti Rukka Sambolinggi (Sekjen Aliansi Mayarakat Adat Nusantara), Ratnauli Gultom (pemilik Eco Vilallage Silimalombu), Rheinhardt Sirait, Dimpos Manalu, Manguji Nababan, Togu Simorangkir (giat mengurusi kaum ODGJ), Tumpak ‘Si Parjalang’ [Sang Kelana] Hutabarat, Albiner Siagian, dan Robert Sibarani. Dua yang terakhir ini merupakan guru besar.
Sedangkan di bulan kedua, fokusnya adalah mengenalkan langgam komunikasi kekinian. Maka, selain standar jurnalisme, materinya adalah tentang multimedia, jurnalisme data, cek fakta, jurnalisme lingkungan, dan yang lain termasuk teknik fotografi dan teknik videografi.
Adapun bulan ketiga, fokusnya pada liputan lapangan. Peserta akan mengerjakan proyek reportase kelompok dan perorangan. Dalam dan berpendekatan perkisahan (‘story telling’), itu syaratnya. Puncaknya adalah tugas akhir perorangan.
Masa belajar di sekolah ini Senin-Jumat, dari pukul 08.00 hingga 16.00. Latihan menulis berlangsung sejak hari pertama hingga hari ke-90. Muaranya nanti adalah sebuah buku bersama yang sebagian kandungannya adalah artikel yang telah muncul di Parboaboa.com. Adapun materi ‘public speaking’ dan ‘critical thinking’, itu ada di bulan awal.
Sekolah yang sangat mementingkan praktik ini tak berbayar. Para peserta bahkan diberi uang saku saban bulan dan penginapan. Bukan agak lain lagi tapi sangat lain, bukan?
Editor: Rin Hindryati