PARBOABOA, Jakarta - Kesepakatan penurunan tarif impor produk Indonesia ke Amerika Serikat menjadi 19 persen membuka babak baru bagi perekonomian nasional.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia optimistis peluang emas ini akan mendongkrak nilai ekspor hingga dua kali lipat dalam lima tahun ke depan.
Di balik optimisme tersebut, tersimpan pula tantangan besar untuk memastikan kesiapan industri dalam negeri agar mampu memanfaatkan celah perdagangan ini secara maksimal.
Harapan baru muncul di tengah dinamika perdagangan global yang semakin kompetitif. Ketua Umum Kadin Indonesia, Anindya Novyan Bakrie, menilai keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menurunkan tarif impor produk Indonesia menjadi 19 persen adalah kabar baik yang bisa menjadi motor penggerak peningkatan signifikan perdagangan bilateral kedua negara.
Bagi Anin, sapaan akrabnya, kebijakan tarif ini membuka peluang ekspor Indonesia ke pasar Amerika Serikat berkembang lebih agresif dan mengokohkan posisi Indonesia di jalur perdagangan global.
Optimisme Anin bukan tanpa alasan. Ia meyakini penurunan tarif ini bisa menggandakan angka ekspor dalam rentang lima tahun mendatang. Ia memproyeksikan, nilai perdagangan Indonesia-Amerika Serikat yang saat ini mencapai sekitar 40 miliar dolar AS, akan melonjak hingga 80 miliar dolar AS pada 2030 mendatang.
“Kita harus melihat apa manfaat yang bisa kita raih dari kesepakatan ini, bukan sekadar keuntungan bagi pihak Amerika,” kata Anin dalam keterangan persnya pada Kamis, (17/07/2025).
Untuk merealisasikan target ambisius tersebut, Kadin bergerak cepat dengan mempersiapkan strategi konkret.
Salah satunya adalah mengagendakan pertemuan bersama para pelaku industri dalam negeri, terutama yang bergerak di sektor-sektor strategis seperti tekstil, garmen, alas kaki hingga elektronik.
Anin menekankan, lonjakan permintaan harus diimbangi dengan kapasitas produksi yang memadai agar Indonesia tidak kecolongan peluang.
“Kita sudah diberi kemudahan, jangan sampai potensi ini diambil negara lain hanya karena kita tidak siap,” tegasnya.
Kesepakatan penurunan tarif impor sebesar 19 persen dari sebelumnya 32 persen ini, menurut Anin, adalah hasil kerja keras pemerintah yang patut mendapat apresiasi.
Di tengah kondisi global yang tidak menentu, Indonesia justru berhasil mempertahankan posisinya sebagai negara dengan surplus neraca perdagangan dengan Amerika Serikat. Hal ini menjadi pembeda dibanding banyak negara lain yang justru mencatat defisit.
“Selamat kepada pemerintah, karena hasil negosiasi ini jelas membawa keuntungan bagi Indonesia,” ujar Anin dengan nada bangga.
Meski demikian, Anin tak memungkiri bahwa masih ada suara-suara yang mempertanyakan mengapa tarif tidak bisa ditekan lebih rendah lagi.
Namun, ia menilai capaian ini sudah sangat kompetitif di bandingkan dengan kondisi tarif beberapa negara lain.
Sebagai pembanding, ia menyebut tarif impor produk dari Meksiko ke Amerika Serikat dikenakan 35 persen, sementara produk dari Cina 30 persen.
Inggris memang menikmati tarif hanya 10 persen, namun neraca dagangnya justru defisit dengan Amerika, tidak seperti Indonesia yang berhasil mempertahankan surplus hingga 18 miliar dolar AS.
“Jadi kalau kita lihat konteksnya, angka 19 persen ini lebih baik dibanding skenario awal yang bahkan sempat dibicarakan di angka 32 persen,” pungkas Anin.