Dari Jilbab Pink ke Polemik: Ibu Ana dan Simbol Perlawanan yang Berujung Kontroversi

Ibu Jilbab Pink Viral Maki-maki Prabowo dan Ingin Anies Baswedan jadi Presiden (Foto: Dok. x.com/@snowflakemlet)

PARBOABOA, Jakarta - Seorang ibu bernama Ana dengan jilbab pink menjadi ikon baru gerakan sipil di Jakarta.

Keberaniannya menghadapi aparat membuat warna pink berubah makna menjadi simbol perlawanan.

Namun, popularitasnya justru terbelah ketika beredar video kontroversial yang diduga hasil manipulasi, menimbulkan perdebatan sengit di jagat maya.

Jakarta kembali menjadi saksi lahirnya simbol baru perlawanan rakyat. Di tengah riuh aksi massa di depan Gedung Parlemen, Senayan, hingga Polda Metro Jaya,  akhir agustus lalu, sosok seorang ibu paruh baya bernama Ana tampil berbeda.

Dengan jilbab berwarna pink, ia berdiri tegak menghadapi tameng aparat kepolisian pada siang yang mendung.

Keberaniannya mengubah citra warna merah muda—yang selama ini lekat dengan kelembutan—menjadi tanda keberanian dan suara perlawanan.

Tak hanya sekali, Ana hadir dalam berbagai aksi mahasiswa dan masyarakat sipil. Ia tak gentar berhadapan langsung dengan aparat, bahkan saat situasi kian memanas.

Dari momen itulah lahir simbol gerakan baru bertajuk "17+8 Tuntutan Rakyat." Warna pink yang dikenakan Ana dipasangkan dengan hijau, warna yang melekat pada Affan Kurniawan, pengendara ojek online yang tewas dilindas kendaraan taktis Brimob.

Kombinasi “brave pink” dan “hero green” menyebar luas di media sosial, memantik gelombang dukungan lintas komunitas, dari aktivis hingga influencer.

Fenomena ini menguat karena dukungan emosional publik. Pink diartikan sebagai simbol empati dan keberanian inklusif, sementara hijau melambangkan solidaritas.

Berbagai akun Instagram, X, hingga TikTok mengubah profil mereka dengan nuansa dua warna tersebut.

Psikologi warna, menurut kajian akademis, memang mampu mengikat makna kolektif yang menggugah emosi massa, lalu mendorongnya menjadi tindakan nyata.

Namun di tengah popularitasnya, Ana justru terseret dalam kontroversi. Sebuah video yang beredar di media sosial menunjukkan dirinya tengah memaki Presiden RI Prabowo Subianto dan menyerukan nama Anies Baswedan sebagai pengganti.

Video itu langsung menjadi viral—salah satunya diunggah akun TikTok @catch4uu dan sudah ditonton jutaan kali hingga 3 September 2025.

Dari sini, muncul perdebatan sengit: apakah sosok ibu berjilbab pink masih pantas dijadikan simbol gerakan rakyat?

Tak sedikit yang meragukan keaslian rekaman itu. Beberapa warganet menyebut video tersebut merupakan hasil manipulasi berbasis kecerdasan buatan atau deepfake.

Indikasi kejanggalan ditemukan pada pergerakan latar belakang yang tidak sinkron, pencahayaan yang berubah-ubah, hingga detail aneh pada separator jalan yang tampak berganti warna.

Sejumlah pengguna X bahkan menunjukkan perbedaan mencolok antara gambar ponsel perekam dengan rekaman yang beredar luas.

Kontroversi semakin melebar. Figur publik seperti Denny Sumargo turut terseret dalam diskursus.

Alih-alih memilih pink atau hijau, Denny mengganti foto profilnya dengan warna merah putih sebagai bentuk netralitas.

Sikapnya memicu tanggapan beragam—ada yang menilai langkah tersebut memecah belah, namun Denny bersikukuh bahwa persatuan seharusnya tidak terjebak pada simbol warna, melainkan tujuan yang sama.

Meski perdebatan belum mereda, satu hal jelas: sosok Ana dengan jilbab pink telah menjadi ikon sekaligus polemik.

Ia memantik lahirnya gerakan solidaritas, namun juga membuka ruang diskusi besar tentang batas antara simbol perlawanan, propaganda, dan manipulasi digital.

Hingga kini, publik masih menanti klarifikasi dari pihak Ana maupun mereka yang menyebarkan video kontroversial tersebut.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS