PARBOABOA, Jakarta – Pemeriksaan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, dalam pusaran kasus korupsi dana hibah pokmas APBD Jatim 2019–2022 memicu tanda tanya publik.
Pasalnya, di tengah hiruk pikuk penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Khofifah diperiksa di Surabaya, sementara eks Ketua DPRD Jatim, Kusnadi, justru dihadirkan di Jakarta.
Berikut penjelasan KPK yang menepis isu perlakuan berbeda dalam pengusutan kasus yang melibatkan miliaran dana hibah daerah tersebut.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya angkat bicara terkait pemeriksaan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, yang dilakukan di Polda Jatim Surabaya pada Kamis, 10 Juli 2025.
Tidak seperti kebanyakan saksi yang dihadirkan ke Gedung Merah Putih KPK di Jakarta, Khofifah justru diperiksa di ‘kandang sendiri’. Pada hari yang sama, mantan Ketua DPRD Jatim, Kusnadi, malah harus menjalani pemeriksaan di Jakarta.
Khofifah dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) dari APBD Jawa Timur tahun anggaran 2019 hingga 2022.
Pemeriksaan ini menambah deretan panjang penyidikan KPK di tanah Jawa Timur, yang sebelumnya telah menjerat beberapa nama besar di kursi legislatif provinsi.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, merinci kronologi yang melatari pemeriksaan Khofifah dilakukan di Surabaya.
Menurut Setyo, awalnya penyidik KPK melayangkan surat panggilan pada 13 Juni 2025.
Namun, empat hari kemudian, tepatnya 17 Juni, Khofifah mengirim surat balasan dengan permintaan penjadwalan ulang. Alasan yang diajukan Gubernur Jatim itu cukup personal: menghadiri wisuda anaknya.
Penyidik KPK sempat menjadwalkan ulang pemeriksaan pada 20 Juni 2025. Namun, Khofifah menginginkan jadwal di 24 Juni karena masih berkaitan dengan kegiatan keluarga yang tidak bisa ditunda.
Sayangnya, di tanggal tersebut penyidik sudah memiliki agenda lain, sehingga pemeriksaan belum bisa dilakukan.
“Artinya, sebenarnya yang bersangkutan sudah siap diperiksa pada 24 Juni di Jakarta, hanya saja bentrok dengan jadwal penyidik,” ungkap Setyo di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (17/7/2025).
Setelah serangkaian komunikasi, kedua pihak akhirnya sepakat menjadwalkan ulang pemeriksaan pada 10 Juli 2025.
Kebetulan pada tanggal tersebut tim penyidik memang sedang melakukan rangkaian kegiatan penyidikan lain di Jawa Timur. Demi efisiensi waktu dan sumber daya, Khofifah pun diperiksa di Polda Jatim Surabaya.
Penjelasan Setyo Budiyanto tak berhenti di Khofifah. Publik juga mempertanyakan alasan berbeda yang diterapkan pada Kusnadi, mantan Ketua DPRD Jatim.
Pada hari yang sama, Kusnadi menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
Menurut Setyo, status Kusnadi memang berbeda dengan Khofifah. Kusnadi sudah berstatus tersangka, sehingga langkah penyidik juga melibatkan potensi penahanan.
“Waktu itu Kusnadi sebenarnya akan dilakukan upaya paksa. Namun, karena ada catatan medis, tindakan paksa itu urung dilaksanakan,” jelas Setyo.
Menepis tudingan adanya diskriminasi, Setyo memastikan Kusnadi pun pernah diperiksa di Jawa Timur.
Tepatnya pada 24 Juni 2024, Kusnadi pernah menjalani pemeriksaan sebagai saksi di Kantor BPKP Surabaya.
Hal ini, kata Setyo, membuktikan KPK bertindak proporsional sesuai pertimbangan teknis di lapangan.
“Jadi tidak ada istilah diskriminasi. Semua tindakan penyidikan dilakukan dengan perhitungan matang dan sesuai prosedur hukum yang berlaku di KPK,” tegasnya.
Pemeriksaan Khofifah di Polda Jatim berlangsung intens selama kurang lebih 8,5 jam. Usai diperiksa, Khofifah menjelaskan bahwa semua pertanyaan penyidik berkisar pada teknis penyaluran dana hibah yang bersumber dari APBD Jawa Timur antara 2019 hingga 2022.
Ia menegaskan, proses penyaluran dana hibah oleh Pemerintah Provinsi Jatim sudah berjalan sesuai ketentuan.
“Materi pertanyaannya seputar mekanisme penyaluran dana hibah. Saya sudah sampaikan ke penyidik, semua proses sudah dilakukan sesuai prosedur,” ujar Khofifah kepada awak media, Kamis (10/7).
Kasus Hibah
Skandal dana hibah APBD Jawa Timur ini mencuat setelah terbongkarnya praktik suap yang melibatkan mantan Wakil Ketua DPRD Jatim, Sahat Tua Simandjuntak.
Dana hibah yang dikenal dengan istilah ‘pokok pikiran’ (pokir) ini direalisasikan melalui APBD tahun anggaran 2020 dan 2021, dengan total belanja hibah yang mencapai sekitar Rp7,8 triliun.
Diduga, praktik suap tak hanya terjadi pada tahun anggaran 2020–2021. Sahat dan rekannya, Abdul Hamid, bahkan diduga merancang praktik serupa untuk tahun anggaran 2022–2023.
Sahat sendiri kini telah divonis 9 tahun penjara. Namun, drama pengusutan belum berakhir.
Hingga kini, KPK telah menetapkan 21 orang sebagai tersangka. Rinciannya, empat orang berperan sebagai penerima suap, tiga di antaranya penyelenggara negara, dan satu staf.
Sementara 17 orang lainnya diduga sebagai pemberi suap—15 berasal dari pihak swasta dan dua lainnya pejabat negara.
Identitas para tersangka baru dan konstruksi kasusnya masih menjadi bagian dari penyidikan lanjutan.