PARBOABOA, Jakarta – Di tengah desakan global untuk segera mengakui Palestina sebagai negara merdeka, Inggris memilih langkah pragmatis: mendukung pengakuan kenegaraan di masa depan, namun mendahulukan langkah nyata untuk meredakan krisis kemanusiaan di Gaza.
Kebijakan ini menegaskan peran diplomatik Inggris sebagai penengah di antara kepentingan Barat dan tuntutan kemerdekaan Palestina.
Diketahui, Inggris kembali menegaskan komitmennya terhadap solusi dua negara sebagai jalan damai bagi konflik panjang Israel-Palestina.
Pada Jumat (25/7/2025), Menteri Sains dan Teknologi Inggris, Peter Kyle, menegaskan bahwa pemerintahannya mendukung pengakuan resmi negara Palestina di masa depan.
Namun, ia juga menekankan bahwa fokus saat ini tak lain adalah menghentikan derita warga Gaza yang kian memprihatinkan akibat agresi militer Israel dan serangan balasan Hamas.
“Inggris menginginkan terwujudnya negara Palestina, kami mendambakannya, dan kami ingin menciptakan kondisi yang memungkinkan lahirnya solusi politik yang lestari,” ujar Peter Kyle dalam wawancara eksklusif dengan Sky News.
“Tapi hari ini, saat ini, yang utama adalah bagaimana kita bisa mengurangi penderitaan yang luar biasa dan tidak dapat dibenarkan di Gaza. Itulah prioritas kita,” terangnya.
Sikap ini sejalan dengan garis kebijakan pemerintah Inggris selama bertahun-tahun, yang secara konsisten mendukung solusi dua negara tetapi enggan menetapkan tenggat atau syarat mutlak demi menjaga ruang negosiasi tetap terbuka.
Inggris, sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, memiliki sumbangsih signifikan dalam meredakan ketegangan melalui jalur diplomasi, meski sering dikritik lamban dalam mewujudkan pengakuan resmi.
Pernyataan Peter Kyle muncul hanya berselang sehari setelah Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan bahwa Prancis berencana mengakui Palestina secara resmi pada Sidang Umum PBB September mendatang.
Langkah ini memicu reaksi keras dari Israel dan sekutunya, Amerika Serikat, yang memandang pengakuan sepihak berpotensi memperkeruh upaya negosiasi damai.
Di sisi lain, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer pada Kamis lalu kembali menegaskan bahwa status kenegaraan adalah hak mendasar rakyat Palestina yang tidak boleh dicabut siapa pun.
Meski demikian, Starmer menekankan pentingnya gencatan senjata sebagai pintu masuk menuju pembicaraan damai yang realistis.
Langkah ini menunjukkan betapa Inggris berusaha memainkan peran jembatan antara Eropa yang mulai berani mengambil langkah tegas dan blok Barat lain yang cenderung berhati-hati.
Situasi Gaza Memburuk
Sementara diskursus politik terus bergulir, kondisi di lapangan kian genting. Dalam kunjungannya ke Australia, Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy menyoroti krisis kemanusiaan yang semakin tak terkendali.
Lammy menyebut situasi di Gaza sebagai “tak dapat dipertahankan” dan menegaskan kembali seruan London agar segera dilakukan jeda kemanusiaan sebagai langkah awal menuju perdamaian.
Data otoritas kesehatan di Gaza mencatat lebih dari 100 orang tewas akibat kelaparan dalam beberapa minggu terakhir.
Organisasi hak asasi manusia internasional juga memperingatkan bahwa bencana kelaparan massal terancam meluas, bahkan ketika berton-ton makanan dan obat-obatan tertahan di perbatasan, terhalang blokade yang belum juga terpecahkan.
Di sinilah kontribusi Inggris mendapat sorotan: London menjadi salah satu donor terbesar untuk bantuan kemanusiaan Gaza melalui jalur Perserikatan Bangsa-Bangsa dan berbagai lembaga non-pemerintah.
Tahun lalu saja, Inggris menyalurkan lebih dari £70 juta untuk mendukung suplai pangan, air bersih, dan perawatan medis di Jalur Gaza.
Langkah diplomatik Inggris menempatkannya dalam posisi unik: mendukung hak rakyat Palestina atas kenegaraan, tetapi di saat yang sama mendorong kompromi demi keselamatan ribuan nyawa yang terancam setiap harinya.
Komitmen ini sekaligus menjadi pengingat bahwa jalan menuju Palestina merdeka tidak hanya ditentukan lewat pengakuan simbolis, tetapi juga lewat penanganan krisis kemanusiaan yang mendesak.